KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan taufik dan hidayahnya sehingga kami bias menyelesaikan makalah kelompok soal “Politik Lokal Era Orde Baru dan Reformasi”
Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna,maka dari itu kami mengharapkan kritik dan masukan yang konstruktif demi menyempurnakan makalah ini
Penyusun
Pekanbaru,Maret 2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I:PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
1.2 Tujuan penulisan
1.3 Rumusan masalah
BAB II:PEMBAHASAN
2.1 Defenisi dan Teori
2.1 Politik Lokal Era Orde Baru
2.2 Politik Lokal Era Reformasi
BAB III:PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I:PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Perkembangan dan wacana tentang dunia perpolitik sampai kapanpun akan selalu menarik untuk di kaji secara lebih lanjut. Sebab bagaimanapun juga dunia perpolitik merupakan salah satu jalan yang paling efektif yang biasa digunakan oleh elit penguasa untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan yang lebih tinggi tersebut. Entah perpolitakan yang digunakan itu melalui politik yang kotor maupun politik yang bersih. Namun yang jelas dunia perpolitikan selalu menjadi sorotan seluruuh masyarakat dan dunia publik.
Apalagi bila yang dikaji dan diperbincangkan terkait dengan berbagai dinamika dan perkembangan politik yang terjadi di arus bawah (Politik lokal). Tentunya akan mempunyai kesan tersendiri. Hal ini akan mempunyai daya tarik tersendiri dan unik dibandingkan dengan membicarakan politik elit pemerintah pusat. Mengingat politik yang terjadi di arus bawah sepanjang masa pemerintahan otoriter di bawah rezim orde baru dan reformasi, pemilihan kepala daerah selalu saja dikuasai dan di setting oleh sekelompok elit Jakarta maupun di daerah-daerah. Sehingga para arus bawah tidak dapat mengetahui dan mengerti tantang bagaimana proses dan seleksi yang dilakukan pemerintah pusat.
1.2 Tujuan Penulisan
Berdasarkan Latar belakang diatas maka dari itu ,kami selaku kelompok penyaji membahas mengenai Masalah Politik Lokal Era Orde Baru dan Reformasi karena terdapatnya transisi dalam dua tahap kekuasaan ini yang menarik.
Selain itu tujuan penulisan makalah ini adalah agar menambah pengetahuan dan memperluasa cakrawala pemikiran bagi kelompok kami khususnya dan bagi mahasiswa Ilmu Pemerintahan serta disang pembaca umumnya.
1.3 Rumusan Masalah
a.Apakah defenisi terkait Politik local,Orde Baru dan Reformasi tersebut?
b.Bagaimana Politik local Di era orde Baru?
c.Bagaimana Politik Lokal Era Reformasi?
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Defenisi dan Teori
a.Politik Lokal
RODHAGUE
Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya
Lokal berarti Suatu Ruang yang Luas atau Suatu tempat
Politik lokal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan politik yang berada pada level lokal. Dalam hal ini, semua hal yang berkaitan dengan politik seperti halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun pemilihan kepala daerah. Hal ini menunjukkan bahwa politik lokal cakupannya berada dibawah nasional. Golongan daerah yang termasuk dalam pengelolaan politik lokal diantaranya kota, kabupaten dan desa.
b.Orde baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar
c.Reformasi
menurut KBBI Reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dl suatu masyarakat atau negara; -- ekonomi perubahan secara drastis untuk perbaikan ekonomi dl suatu masyarakat atau negara: perdana menteri yg baru telah menyapu kalangan oposisi dan memberikan serangan telak dng -- ekonomi; -- hukum perubahan secara drastis untuk perbaikan dl bidang hukum dl suatu masyarakat atau negara
2.2 Politik Lokal Era Orde Baru
Pada masa pemerintahan Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 5/1974 dimana semangat sentralisasi pemerintahan justru semakin menjadi-jadi. Undang-undang tersebut memainkan peranan penting dalam memperluas kekuasaan pemerintah pusat ke daerah. Penunjukan para gubernur dengan latar belakang militer oleh Presiden Soeharto sangatlah menguntungkan kejayaan bisnis militer mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah. Para kepala daerah tersebut berlindung di balik doktrin dwifungsi ABRI yang ketika itu membenarkan peran militer aktif untuk terjun dalam pemerintahan sipil. Disamping para perwira militer menikmati jabatan puncak di daerah-daerah, para anggota militer pangkat lebih rendah memainkan peran mereka sebagai pelindung (backing) pengusaha-pengusaha pusat maupun lokal, menjual jasa pengamanan yang seringkali menimbulkan bentrokan dengan masyarakat sipil.
Di dalam masa kekuasaan Order Baru, etnis cina Indonesia memperoleh perlakuan khusus, sehingga jurang ekonomi antara masyarakat keturuna etnis Cina dengan kaum pribumi menjadi sangat tajam. Lebih jauh lagi, masa pemerintahan Soeharto memunculkan model pembangunan daerah yang timpang antara masyarakat di belahan Indonesia bagian Barat (Jawa dan Sumatra) yang kaya dengan masyarakat di Indonesia bagian Timur yang melarat dan kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur sebelum menjadi negara Timor Lester, dan Papua). Ketimpangan tersebut menjadikan pembangunan tidak merata di daerah pedesaan dan kemiskinan di daerah perkotaan,
meningkatkan jumlah penduduk perkotaan sangat pesat.8 Sehingga peningkatan gejala penyakit sosial seperti tindak kriminal, kemiskinan, dan masalah gizi dan nutrisi semakin menyeruak. Soeharto tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga muncul peristiwa berdarah Mei 1998 yang menurunkannya dari tampuk kepemimpinan puncak Indonesia.
2.3 Politik Lokal Era Reformasi
Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “raja-raja” baru daerah. Tidak sedikit daerah-daerah dengan sumber daya alam kuat berencana memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.
Menurut Michael Malley (2004) dan Turner et al (2003), aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengadung kelemahan karena tidak mengikutsertakan masukan dari daerah-daerah. Sekelompok elit bekerja secara tergesa-gesa melahirkan model desentralisasi ala Barat. Desentralisasi tersebut memang sengaja dirancang atas dasar titipan dari pemikiran-pemikiran Barat yang sangat itu sangat ingin memberlakukan model desentralisasi mereka ke negara-negara berkembang. Institusi-institusi internasional yang didanai oleh negara-negara maju berlomba-lomba menggelontorkan bantuannya bagi keniscayaan proses desentralisasi di Indonesia tanpa memperhatikan sendi-sendi kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan tidak demokratis.
Pemaksaaan model desentralisasi Barat tersebut sangat didukung oleh institusi semacam IMF dan World Bank yang memang memiliki kepentingan menggolkan skema bantuan keuangan untuk menolong ekonomi negara berkembang yang mengalami krisis pasca gonjang ganjing moneter 1997. Akibatnya, desentralisasi mengobarkan konflik lokal karena terjadi banyak kesalahpahaman interpretasi di kalangan pejabat daerah yang menginginkan perluasan kekuasaan dibandingkan sebaliknya
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) mengatakan bahwa dari sudut pandang tertentu undang-undang tahun 1999 itu menghidupkan kembali proses desentralisasi yang sempat terhenti di akhir 1950-an. Akan tetapi bila kita memandang dari sudut pandang lainnya, justru desentralisasi seperti memindahkan pola politik lama devide et impera di masa lalu ke dalam pemerintahan pusat yang bertindak seolah-olah sebagai pemecah belah kesatuan daerah-daerah.
Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22/1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah (Ray dan Goodpaster, 2003).
Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan 33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya. Istilah tersebut mungkin meniru sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik.9 Proses redistricting di Amerika Serikat sama sekali bukan hal yang spesifik karena setiap tahun pemilihan hampir dapat dipastikan karena perubahan laju pertumbuhan penduduk, urbanisasi, imigrasi, dan emigrasi, sehingga peta wilayah pemilihan harus selalu disesuaikan. Lain halnya dengan proses serupa di negara-negara Afrika terutama Nigeria, pemekaran hampir selalu dikaitkan dengan maksud-maksud politis tertentu seperti penguasaan sumber-sumber daya alam, kekuasaan segelintir elit daerah, dan peluang mendapatkan alokasi bantuan dana dari pusat.
Ketika Mahkaman Konstitusi menyetujui tinjauan yuridis (judicial review) terhadap UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 yang memperbolehkan calon independen berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah dengan calon-calon kader partai politik, politik lokal seperti tidak terpisahkan dari proses politik dan demokrasi di Indonesia. Selama ini, menurut ketentuan perundangan dalam UU tersebut, calon kepala daerah hanya boleh diajukan oleh partai politik sehingga calon-calon lain di luar partai politik tidak diberikan kesempatan sama sekali maju dalam pilkada. Momen bersejarah ini sangat penting bagi terbukanya ruang partisipasi masyarakat lokal dalam memilih pemimpin dambaannya. Figur-figur partai politik akan dipaksa lebih memperhatikan aspirasi masyarakat ketimbang ambisi pribadi dan partai pengusungnya.
Walaupun demikian, jalan panjang masih harus dibenahi guna menggolkan calon-calon independen kepala daerah dalam pilkada masing-masing daerah. Aturan main dan batasan-batasan etika pengajuan calon masih terbentur dengan pola pemilihan lama yang mengandalkan kekuatan mesin-mesin politik partai dan uang sebagai jaminan kemenangan calon. Alhasil, calon independen sangatlah sulit memenangkan pilkada tanpa kehadiran partai politik pendukung.
Padahal, terbukanya ruang bagi calon independen merupakan ajang pembelajaran masyarakat lokal menjalankan demokrasi sesungguhnya. Sejalan dengan fitrahnya berdemokrasi akan kembali kepada rakyatnya juga. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan sosial dan politik negaranya begitupun di tiap daerah tempat mereka tinggal. Keadaan seperti itu akan mendorong demokrasi ke level lokal. Tarik ulur antara proses demokratisasi pusat dan lokal serta interaksinya dengan sistem demokrasi di luar Indonesia, menghasilkan dinamika. Selain itu, desentralisasi terjadi di seluruh pelosok kabupaten dan kota di Indonesia turut menghasilkan dinamika politik lokal.
Menguatnya politik lokal dapat dilihat dari gegap gempita pelaksanaan pilkada yang di tahun 2008 ini serentak terjadi di hampir 300-an lebih Kabupaten Kota termasuk ke 33 Provinsi. Dapat dibayangkan berapa energi, waktu, dan uang bermain dalam kontes demokrasi lokal tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh kemanfaatan proses demokratisasi lokal tersebut bagi pembelajaran politik bagi masyarakat lokal yang bukan hanya sebatas menyuarakan kepentingannya saja. Namun lebih jauh, terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka.
Untuk itu, pemahaman akan dinamika politik lokal sangatlah dibutuhkan bagi para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan di daerah demi mewujudkan tata pemerintahan demokratis dan kesuksesan proses desentralisasi politik dan administrative di Indonesia. Sehingga kekuatan bangsa Indonesia bukan lagi harus didefinisikan secara terpusat seperti masa lalu, akan tetapi dari masyarakat lokallah segala proses politik dimulai seperti ungkapan dari seorang juru bicara Kongres (Dewan Perwakilan Rakyat) Amerika Serikat periode (1977-1987), Thomas Phillip “Tip” O’Neill, Jr. , “all politics is local.”
BAB III :PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari paparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa terdapatnya perkembangan mengenai Politik local yang terjadi antara era orde baru dengan Era Reformasi yang kini kita rasakan,beragam kebijakan mulai terbuka lebar ketika wacana reformasi digulirkan.Namun perkembangan Azas Desentralisasi ini juga mengalami penyimpangan – penyimpangan yang tentunya perlu terus dibenahi agar jalan panjang menuju kesejahteraan rakyat sesuai dengan undang – undang 1945 dapat dilaksanakan
B.Saran
Kami menyarankan agar dilakukannya kajian intensif demi pengembangan studi pengetahuan ilmu politik ,khusunya politik local ini
Daftar Pustaka
Kaho, Joseph R. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Kansil, C.S.T. Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Liddle, William R. “Asia: Indonesia,” in Comparative Governance. Editor W. Phillips Shively. USA: The McGraw-Hill Companies, 2005.
Muslimin, Amrah, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni, 1978.
Nasution, Adnan B., “Unitary and Federal States: Judicative Aspects,” dalam Unitary State Versus
Federal State: Searching for an Ideal Form of The Future Indonesian State. Editor Ikrar N. Bhakti danIrinye H. Gayatri. Bandung: Mizan Media Utama, 2000.
http://www.libpurdue.edu/govdocs/redistricting.html (diakses …….2012).
Wikipedia.org Diakses 2012