Budaya berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat
juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan
‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan arti mendayakan budi, atau
menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks
politik hal ini menyangkut dengan pemikiran politik dan sistem politik
yang dianut suatu negara beserta semua struktur dan fungsi (interkasi
dan tingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah
laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance
Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima
aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni:
nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat,
dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya
politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa
sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia.
Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran
politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia.
Secara garis besar perpolitikan di Indonesia dibagi menjadi 3 periode
yaitu : Periode pemikiran politik tradisional, pemikiran politik pada
masa pergerakan, dan pemikiran politik pada masa sesudah kemerdekaan.
Periode Pemikiran Politik Tradisional
Jauh sebelum politik pada dunia modern dikenal, kita telah mengenal
pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan politik terlepas sesuai
dengan teori yang berlaku sekarang atau pun tidak. Pemikiran itu sudah
ada terlihat dari sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan yang pernah ada
di Indonesia baik kerajaan kecil maupun besar diantaranya : Kutai di
Kalimantan di abad ke 5, Melau di Sumatra dan Kalinga di Jawa di abad ke
7, Sriwijaya di abad ke 5 sampai abad ke 10, Majapahit di abad ke 13,
dan Aceh di abad 16-17, dan sebagainya.
Koentraraningrat menyebutkan Yang menjadi ciri periode politik
tradisional adalah Kepemimpinan masyarakat tradisional
kesatuan-keasatuan sosialnya yang mempunyai bentuk kepemimpinan
masyarakat negara kuno, dengan penduduk ribuan atau puluhan ribu orang,
membutuhkan syarat kempemimpinan yang tidak cukup hanya kewibawaan saja
melainkan juga harus memiliki kepandaian dalam berbagai aspek kehibupan.
Koentjaraningrat menyebut syarat-syarat kepemimpinan dalam kerangka ini
adalah : kharisma, kewibawaan (Popularitas, kapasitas, kecendekiwanan),
wewenang (dengan legitimasi melalui prosedur adat atau hukum setempat)
dan kekuasaan dalam arti khusus dan syarat yang dibutuhkan seperti
seorang raja.
Salah satu budaya politik yang berkembang pada budaya politik
tradisional adalah paham kekuasaan religius, Frans Mangnis Suseno
menyebutkan Inti paham kekuasaan religius ialah bahwa hakikat kekuasaan
disini kekuasaan politik, bersifat adiduniawi dan adimanusiawi. Berasal
dari alam ghaib atau termasuk yang ilahi. Raja merupakan medium yang
menghubungkan mikrokosmos manusia dengan mikrokosmos Tuhan. Contoh
kongkret paham kekuasaan religius ada pada kekuasaan yang dulu hidup
pada masyarakat Jawa. Kekuasaan dianggap sebagai ungkapan energi halus
alam semesta dan salah satu bentuk operasional tenaga gaib alam semesta
sendiri. Dalam kerangka itu penguasa dapat dipahami sebagai manusia yang
mampu menyadap kekuatan-memuatan yang ada di alam semesta ini. Ia
seakan-akan mampu mengontrol kekuatan-kekuatan kosmis yang menyatakan
diri dalam wilayah kekuasaannya.
Kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa kedalam masyarakat.
Masyarakat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan ini ditandai dengan terjadinya
keselarasan yang terjadi antara semua kekuatan yang bekerja pada suatu
wilayah, baik faktor sosial maupun alam. Keselarasan sosial tercapai
bila negeri aman sentosa dan tidak terdapat keresahan pada masyarakat,
keselarasan dengan alam bila lahan pertanian subur dan hasil pertanian
melimpah ruah serta tidak terjadi bencana dan hama pertanian.
Dalam kekuasaan Jawa unsur-unsur kekuasaan seperti fisik, militer,
kapabilitas, kepintaran memang juga penting tetapi tidak menentukan.
Selain keselarasan kekuasaan dengan paham religius juga sangat
tergantung dengan sikap batin orang yang bersangkutan dan tergantung
pada keluhuran budinya. Ia harus Sepi ing pamrih tidak terikat dengan
hawa nafsu dan kepentingan dunia, ia harus bersih dari angkara murka
supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas dan heling (diam, jernih,
awas dan ingat). Dan memiliki semboyan ”sugih tana benda, digjaya tanpa
aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa benda, tak
terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa
merendahkan). Ciri-ciri ini akan dimiliki raja bila ia adil tanpa pilih
asih, budipekerti dan wicaksana.
Legitimasi kekuasaan relegius tak membutuhkan legitimasi rakyat karena
Tuhan tidak membutuhkan legitimasi dari manusia, legitimasi pada paham
religius tidak bersifat etis tetapi bersifat religius dengan unsur :
tingkat kesaktian, pemerintahan adil makmur dan tentram, keluhuran
budinya. Ia harus Sepi ing pamrih tidak terikat dengan hawa nafsu dan
kepentingan dunia, ia harus bersih dari angkara murka supaya dapat
menjadi heneng, hening, hawas dan heling (diam, jernih, awas dan ingat).
Pemikiran Politik Pada Masa Pergerakan
Pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam
upaya kemerdekaan Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad
Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang
mewarnai aktivitas politik pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang
paling dominan pada masa pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat
yang pada waktu itu wacana sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan
Syahrir dan Mohammad Hatta dalam wadah Partai Sosial Demokrat (PSI) pada
waktu itu.
Aliran Sosialisme Demokrat mempunyai perbedaan dengan sosialis di
Indonesia lainnya, perbedaan terletak pada besarnya perhatian partai ini
terhadap kebebasan individu, keterbukaan terhadap arus intelektual
dunia dan penolakan terhadap obsercruantisme, chauvinisme, dan kultus
individu. Pada tahun 1932 Syahrir dan Hatta sekembalinya dari luar
negeri mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, badan ini mengabdikan
diri pada strategi pembentukan kader politik yang matang, yang dapat
berdiri sendiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun para
pemimpinya tersingkir, dan terbukti pada tahun 1934 dua tahun setelah
PNI didirikan Syahrir dan Hatta di tangkap dan dibuang ke Indonesia
Timur, dan baru di bebaskan beberapa saat menjelang serbuan Jepang.
Syahrir dan Hatta pada masa pendudukan Jepang memiliki jalan yang
berbeda, Hatta dan Soekarno bekerja sama dengan Jepang, sedangkan
Syahrir memimpin suatu organisasi bawah tanah untuk melawan mereka.
Ketika Jepang menyerah kalah setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu
menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri mulai November 1945 sampai Juni
1947.
Sampai awal tahun 1950an PSI tetap menjadi salah satu kekuatan politik
yang penting, dan namanya cukup berwibawa di luar negeri, tetapi di
Indonesia sendiri pengaruh partai ini lama-lama berkurang. Partai ini
lebih banyak menarik para cendikiawan di banding dengan partai-partai
lainnya dan sering memegang peranan penting dalam perdebatan-perdebatan
politik. Tetapi pada akhir lima puluhan PSI mendapat banyak kritikan
karena tidak mengakar ke rakyat. Ketika Presiden Sukarno menetapkan
demokrasi terpimpin
Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai tulisan dan pidato beliau
sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan Indonesia tentang
cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman perlakuan
pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan
cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan itu. Pemikiran-pemikiran beliau untuk mencapai kemerdekaan
bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah :
1. Non-koperasi, menurut Hatta cara inilah satu-satunya yang harus
ditempuh untuk mencapai kemerdekaan, bagi Hatta non-koperasi berarti
antara lain menolak duduk dalam dewan-dewan perwakilan yang didirikan
oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun di daerah. Non koperasi juga
berarti menolak bekerja di lingkungan pemerintahan kolonialisme.
2. Percaya Pada Diri Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan
kolonialisme perlu dibangun rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri
sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri yang semakin terkikis oleh
kebijakan represif kolonialisme Belanda, rakyat telah lama kena pukau
ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus dibalikan, harus percaya
tentang kemampuannya.
3. Persatuan, persatuan yang mempersatukan segenap kekuatan dalam
melawan kekuatan penjajah, untuk itu menurut Hatta perlu lebih dahulu
aksi massa, pembentukan kekuasaan yang bisa dicapai lewat propaganda
untuk menegakan persatuan dan solidaritas, kepercayaan diri dan
kesadaran diri.
Pemikiran Politik Setelah Masa Kemerdekaan dan Saat Ini
Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran
politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia. Aliran
politik Indonesia menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku
”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. yang mewarnai perpolitikan di
Indoensia, yakni:
1.
Komunisme yang mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak
langsung dari Barat, walaupun mereka seringkali menggunakan ideom
politik dan mendapat dukungan kuat dari kalangan abangan tradisional.
Komunisme mengambil bentuk utama sebagai kekuatan politik dalm Partai
Komunis Indonesia.
2.
Sosialisme Demokrat yang juga mengambil inspirasi dari pemikiran barat. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia.
3.
Islam yang terbagi menjadi dua varian: kelompok Islam Reformis
(dalam bahasa Feith)- atau Modernis dalam istilah yang digunakan secara
umum- yang berpusat pada Partai Masjumi, serta kelompok Islam
konservatif –atau sering disebut tradisionalis- yang berpusat pada
Nadhatul Ulama.
4.
Nasionalisme Radikal, aliran yang muncul sebagai respon terhadap kolonialisme dan berpusat pada Partai nasionalis Indonesia (PNI).
5.
Tradisionalisme Jawa, penganut tradisi-tradisi Jawa.
Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul
sebagai kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat
mempengaruhi cara pandang aktor-aktor politik dalam Partai Indonesia
Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan) dan sangat
berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja).
Aliran pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta pemilu, diantaranya :
- Komunisme (Partai Komunis Indonesia / PKI)
- Nasionalisme radikal (PNI)
- Islam (Masyumi, NU)
- Tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI),
- Sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI).
Aliran pemikiran tersebut pada pemilu 2009 warna ideologi kepartaian di Indonesia tinggal dua corak. Yakni :
1. Nasionalis yang direpresentasi PDI-P, Partai Golkar,dan Partai Demokrat, dan partai lain.
2. Islam yang diwakili PPP, PBB, PKS, dan partai lain.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan
individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai
ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang
diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang
dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau
berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan
nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari
penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang
berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang
cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant
terjadinya pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai
dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di
dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan
nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan
Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut
diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan
tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu
proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis
ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan
suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa
Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya
sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap
Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan
yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut
perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan
beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik
yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.