Pemikiran
Nurcholish Madjid tentang Islam dan Politik
Oleh
:Wiriyanto Aswir
A.Pengantar
Nurcholish
Madjid atau Cak Nur (1939-2005) dikenal sebagai pemikir islam yang paling
controversial.Pandangannya tentang :Sekulerisasi,Islam Yes Partai Islam
No,tidak ada Negara Islam ,hingga pluralism,telahmenyulut perdebatan panjang.Ia
mendobrakkebekuan politik dengan seruan oposisi ,Pancasila sebagai ideology
terbuka,dan pencalonan dirinya sebagai presiden dengan modal pikiran.Belakangan
ia dikenal sebagai guru bangsa lantaran seruan-seruan yang memberi arah masa
depan bangsa.
Peta
bumi intelektual Indonesia cukup kaya dengan kehadiran para pionir, raksasa
pemikir, dan para martir yang mempersembahkan diri demi pengayaan kecerdasan
rakyat nusantara. Mereka tak semuanya melewati karpet merah sejarah —berujung
dengan penghormatan dan pengakuan mulia. Tak kurang-kurang pula tokoh yang
perlaya dengan penistaan degil, serta selalu berbuntut dengan
kontroversi.Potret kultural seperti inilah yang menjadi lahan semai gagasan-gagasan
progresif dari seorang Santri Jombang yang juga nyantri di Chicago University,
yaitu Nurcholis Madjid.
Oposisi
ide terhadap Cak Nur, dengan hormat kita menyebut yang bersumber dari: Endang
Saefudin Anshari, HM. Rasyidi, Ridwan Saidi, Daud Rasyid, atau bahkan Akhmad
Soemargono, serta sayap radikal kelompok-kelompok Islam lain, menurut saya
benar ketika mengatakan bahwa Cak Nur tidak orisinil.
Tapi
sama sekali tak boleh menyedot takaran persembahan ide Cak Nur yang
artikulatif. Cak Nur tak terbang sendiri dengan keresahan untuk memberangus
sikap ber-Islam yang jumud, taklid, dan anti intelektual. Sebab, sebagaimana
dipaparkan dalam buku ini, dalam epilog oleh Buddy Munawar Rachman, bahwa Bung
Karno pun jauh-jauh hari sudah menggagas perlunya menyerap Api Islam. Si Bung
Besar itu berdakwah bahwa Umat Islam Indonesia hanya bisa menangkap abu dan
arang Islam.
B.Teori
Ideologi
politik adalah himpunan nilai-nilai,ide-ide atau norma-norma,kepercayaan atau
keyakinan,suatu weltanchaung,yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas
dasar mana ia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problematika politik
yang dihadapinya dan yang menentukan perilaku politiknya.[1]
Kesadaran pemahaman manusia –diakui-
tidak akan pernah sedemikian mandiri dan terlepas dari realitas dari ruang
lingkupnya (Hans Georger Gadamer:1975) Hal itu dikarenakan keberadaan manusia
berikut pemahamannya selalu berada pada ranah situasional.[2]
Pada dasarnya,sebagaimana yang
diakui ahli psikologi,apa yang diuraikan oleh seseorang, adalah terkait
berbagai problem yang ada di dalam kehidupannya.Hal ini mencerminkan bahwa
mereka adalah mereka termasuk ke dalam kategori mahkluk yang tak bisa
melepaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna ,berarti
berusaha untuk memahami dan “memahami” adalah kegiatan yang tidak bisa
dilepaskan dari faksinitas eksistensi maupun nilai-nilai miliki dan ruang waktu
yang melingkupinya[3]
C.Pembahasan
Cak Nur bukan saja raksasa
intelektual yang pernah dimiliki negeri ini. Ia, seperti halnya intelektual
sejati lainnya, hidup dalam nuansa kesahajaan yang patut diteladani. Ia hidup
sederhana. Bahkan pernah tak mampu mengobati anaknya yang sakit (mengingatkan
kita kepada tokoh Agus Salim, yang meski dihargai di mana-mana, tetapi hidup
dari kontrakan ke kontrakkan, juga terhadap Bung Hatta). Ia juga seorang
intelektual organik, yang tahu berbuat konkret. Termasuk bertindak secara gigih
dalam melawan arus. Di saat orang ramai-ramai membuat sakralisasi terhadap
partai islam, ia berkibar dengan kredo: Islam Yes, Partai Islam No! Atau
tatkala banyak orang “bedol desa” ke Partai Golkar, ia malah berkampanye untuk
PPP. Karena, menurutnya, demokrasi butuh kekuatan pengimbang, dan PPP adalah
ban kempes yang harus dipompa[4]Daya
dobrak ide Cak Nur pertama-tama menohok pada sikap puritan Ummat Islam
Indonesia, yang ideologis-politis, apologetik, dan terperangkap dalam
formalism-legalisme. Dalam jangka pendek, kadang sikap ini memang terkesan
heroik dan memuaskan nafsu. Sayangnya, tak ada kreativitas dan inovasi apapun di
sana, kecuali mengulang-ulang lagu lama. Pada akhirnya, terlihat bahwa opini
sedemikian adalah palsu, dan menjadi bumerang yang memukul balik Ummat Islam[5]
Jika
Islam menjadi kekuatan politik, maka ia akan sektarian, terbatas dan ekslusif.
Sementara Islam, menurut Cak Nur, bukanlah agama formalistik, melainkan
substansinya berpijak pada nilai, moral dan etik. Dengan demikian, kekuatan
Islam adalah kekuatan budaya, yang maknanya terlihat pada penghormatan terhadap
keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan pluralisme. Agenda-agenda seperti itu,
tentu akan berkesuaian dan sinergik dengan kelompok lain[6]
Kegentingan
yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari
imprasse politik Islam Pasca Orde Lama.Turut andil dalam memberi jalan bagi
kelahiran Orde Baru,harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitas
PartaiMasyumi yang dibekukan rezim
Sukarno bagai pungguk merindukan bulan,Setelah Suharto menolaknya pada bulan
Januari 1967.Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam
terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua [7]
Pergeseran
pemikiran Cak Nur kea rah pemikiran Islam yang lebih prograsif merupakan hasil
dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya ,Seperti yg dikatakan Wahib (1961:160-161)
:”Nurcholis Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca.Buku adalah
pacarnya yang pertama .Walau dia sudah merasa benar,tapi karena kesediaannya
untuk senantiasa belajar,memaksanya lama – lama untuk mempersoalkan kembali apa
yang telah diyakininya ‘.Karena hobi membacanya ,kata Wahib,Madjid adalah orang
yang cukup punya peralatan ilmu sehingga dengan suatu perubahan mental saja dia
sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya
(h.163).Madjid juga merupakan seorang individu yang independen yang tidak
memiliki mentor khusus.Bagi seoprang mahasiswa IAIN ,menjadi ketua HmI
merupakan sesuatu yang tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan
pribadinya.Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para
mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat
mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa “wacana intelektual’
modern.Namun,impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas
kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah ,Pada bulan
Oktober 1968,dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen
Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat dibawah sponsor Council for Leaders and
Specialist (CLS).ALasan dibalik undangan ini ,menurut seorang pejabat Kedutaan
Besar Amerika di Jakarta,ialah sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama
ini’(Wahib ,1981:161) .Selama dua bulan perjalanannya di Amerika ,dia
mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari
para mahasiswa,mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa
tokoh akademis dan politik,dan menyaksikan langsung prestasi-prestasi peradaban
Barat .Dia juga berkesimpulan untuk menemui kompratriotnya ,seorang intelektual
sosialis berpengaruh ,Soejatmoko .Yang saat itu menjadi duta Besar Indonesia di
AS,yang menyambut kunjungannya dengan ramah.[8]
Perubahan
mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan
serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang
kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus
melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat
ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh
dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari ‘komunitas
epistemiknya’, berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara
informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya.Salah seorang tokoh kunci
yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang
pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak
Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua
HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional
PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat
acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan
tema ‘Integrasi Ummat Islam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M.
Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil
(dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya menangkap kesan bahwa
agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan
diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya:
seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar
Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi
yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa
menciptakan perpecahan.[9]Selain
diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan
para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman
Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak
benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau
prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: ‘Mereka memang memiliki sebuah ide
mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat
mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak
mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung
cita-cita itu’.[10]Meskipun
diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun,
diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya.
Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada
Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah
mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena
ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya,
dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu
tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya
mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian,
dalam persiapan acara halal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang
diorganisir bersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim,
yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari
para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih
‘pembaharuan pemikiran dan integrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan
awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan
menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim
tersebut untuk menemukan solusi bagi problem-problem ummat yang sangat
berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada
kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution
(seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya.
Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai
pembicara.[11]
Dalam
acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur
mempresentasikan sebuah makalah berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Ummat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan
bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak
praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam
kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi
yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan
intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai
‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslim telah menyebabkan
‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk
diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia
menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang
dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkin akan menghalangi
usaha-usaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko
tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal
untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna
paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual.
Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan
adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat
pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak
ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi
Muslim tradisionalis.Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai
‘pembaharuan’, Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa
proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari
‘nilai-nilai tradisional’-nya dan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang
berorientasi masa depan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat
untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasan intelektual,
menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress), dan mengembangkan
sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah ‘sekularisasi’ di
sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam
pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam
penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika,
Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses
temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung
dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna
‘desakralisasi’ atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar
transendental. Yang terakhir namun juga penting, dalam merespon kian
meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam
politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada
saat itu: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’[12]
Salah
satu kenyataan yang menggembirakan tentang islam di Indonesia dewasa ini ialah
perkembangannya yang pesat,terutama dari segi jumlah pengikut
(formal).Daerah-daerah yang dahulunya tidak mengenal agama ini dahulunya
mengenalnya.Malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya
disamping agama lainnya yang telah ada sebelumnya.Dan kalangan dari tingkat
social yang lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada
ISlam;jika tidak mengamalkannya sendiriv msetidak-tidaknya demikianlah sikap
–sikap resmi mereka.Tetapi,sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta
jawaban.Yaitu,sampai dimanakah perkembangan akibat daya tarik yang jujur dari
ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpin-pemimpinnya itu,lisan maupun
tulisan?Ataukah perkembangan kuantitatif ISlam itu dapat dinilai sebagai tidak
lebih dari pada gejalan adaptasi social karena perkembangan politik di tanah
air akhir-akhir ini,yaitu kalahnya kaum Komunis,yang memberikan kesan
kemenangan di pihak Islam ?(dan adaptasi social juga telah terjadi pada zaman
orde lama,sebab presiden Soekarno pada waktu itu selalu dengan penuh kegairahan
,menunjukkan Interestnya kepada Islam –juga kepada Marxisme ,apapun dugaaan
orang tentang motif yang ada dibelakangnya .[13]
Jawaban
atas pertanyaan itu mungkin sekali dapat ditemukan dengan meletakkan pertnyaaan
berikutnya;sampai dimanakah mereka tertarik dengan
partai-partai/organisasi-organisasi Islam?Kecuali sedikit saja ,sudah terang
mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai /organisasi – organisasi
Islam.Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi :Islam ,yes,partai
Islam,no!.Jadi,jika partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam,jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam kedaaan
tidak menarik.Dengan perkataan lain,ide-ide itu sekarang menjadi
basolut,memfosil,kehilangan dinamika.DItambah lagi ,patai-partai Islam tidak
mampu membangun citranpositif dan simptik,bahkan yang ada ialah
sebaliknya.(Reputasinya sebagian umat Islam di bidang ,korupsi,umpamanya ,makin
lama ,makin menanjak).[14]
D.Biografi
Cak Nur
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir
di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal di Jakarta, 29
Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang
pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai
aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan
pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari
berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua
Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor
Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005
Masa
kecil dan pendidikan
Ia dibesarkan di lingkungan keluarga
kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid,
dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai
pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta
(1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago,
Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu
Taimiyah.
Ide
pembaharuan Islam
Cak Nur dianggap sebagai ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya,
terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan
ancaman disintegrasi bangsa.
Reformasi 1998
Namun
demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan
pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama
dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia
dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur,
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak
politik yang lebih parah.Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan
pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam
Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis
literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka
menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari
teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial
adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?"
yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an ,
sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung
untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam.
Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi
dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
E.Kesimpulan
Ide-ide
Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan
insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik.
Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam
Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu
1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung
merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis
seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang
bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut
justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam
kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai ”nasionalis-sekular”
sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan
representasi keislaman.Yang paling penting dari nya soal politik dan Islam
adalah menekankan esensi keislaman,bukan pada partai Islam
Daftar
Pustaka
Madjid,Nurcholish.2010.Islam,Keindonesiaan,kebangsaan.
Paramadina:Jakatrta
Pandji
Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388
H./29 Maret 1968.
Gauf,Ahmad.Api
Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.Penerbit Kompas:Jakarta
Harper
and Brow,dalam Being and Time.1962.Hal.19-24.J,Marquarrie (terj.):New York
[1]Jean
Paul.dalam Eksistensi and Humanisme.London:Methuen and Co ltd.1968.pp.34
[1] Ibid.Hal 45
[2] Harper and Brow,dalam Being and Time.1962.Hal.19-24.J,Marquarrie
(terj.):New York
[3]Jean Paul.dalam Eksistensi
and Humanisme.London:Methuen and Co ltd.1968.pp.34
[4]Gauf,Ahmad.Api
Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.Penerbit Kompas:Jakarta .Halaman
141
[5] Ibid.halaman
121
[6]
Ibid.Halaman 155.
[7] Ibid.Halaman
xii
[8] Ibid.halaman xviii
[9] Pandji
Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388
H./29 Maret 1968.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Madjid,Nurcholish.2010.Islam,Keindonesiaan,kebangsaan.Halaman
226/Paramadina:Jakatrta
[14]
Ibid,Hlm 227