Pages

Tuesday, April 10, 2012

RESUME SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MASA KOLONIAL HINGGA PASCA REFORMASI


RESUME SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
MASA KOLONIAL HINGGA PASCA REFORMASI


logo_unri_trans.gif

DISUSUN OLEH:
WIRIYANTO ASWIR
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2012

LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai pemerintahan daerah tidak bisa lepas dari pembicaraan pemerintahan pada umumnya. Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda. Pemerintah merujuk kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
PEMBAHASAN
Problematika muncul berkait dengan pelaksanaan prinsip-prinsip desentralisasi dalam implementasi kebijakan politik lokal dan pemerintahan daerah. Sesuai dengan uraian pada awal diskusi, penerapan pinsip desentraliasi sangat dipengaruhi cara pandang pemerintah terhadap fungsinya. Dengan alur logika itu, kebijakan politik lokal dan pemerintahan daerah oleh pemerintahan kolonial akan dapat dipastikan berbeda dengan pemerintahan zaman kemerdekaan. Uraian berikut akan mencoba mengidentifikasi berbagai problematika politik lokal dan pemerintahan daerah yang menyangkut kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan diukur dari tingkat pelaksanaan desentralisasi.
Secara garis besar,kita bisa melihat . perkembangan sistem pemerintahan daerah tersebut dalam pembahasan berikut:
A. MASA PENJAJAHAN
Masa Pemerintahan Penjajahan Belanda.
Kebijakan pemerintahan Hindia Belanda mengenai pemerintahan daerah dilatar-belakangi prinsip desentralisasi yang lebih bernuansa teknis-administratif (manajemen). Maksud kebijakan itu tidak lain untuk optimalisasi efisiensi pemerintahan dengan pengendalian yang ketat dari Batavia. Politik desentralisasi -- Decentralisatiewet 1903 dan Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216) -- hanya sekedar meredakan tuntutan, baik internasional maupun nasional, sebab penyerahan urusan hanya mencakup hal--hal yang tidak penting dan otonomi sangat sempit. (Harsono, 1992 : 59-60).
Lembaga-lembaga pemerintah daerah secara politik tidak mandiri. Berbagai kebijakan lebih banyak ditentukan pemerintah di Batavia. Fungsi pemerintah daerah lebih sebagai pelaksana kebijakan pusat dari pada penentu kebijakan lokal. Berbagai kebijakan lokal dikontrol secara ketat oleh Gubernur Jenderal. Untuk memungkinkan pengendalian itu susunan daerah dibuat secara bertingkat (hierarkhis). Dengan demikian dapat ditentukan span of control atau rentang kendali tingkat pemerintahan tertentu terhadap pemerintahan bahwan. Selain itu dilakukan melalui pola rekruitmen kepemimpinan. Semua lembaga pemerintah daerah dipimpin oleh pejabat pusat. Dewan daerah tidak diberi kekuasaan untuk menentukan pimpinan daerah setempat. Misalnya sebagaimana diterangkan oleh Harsono, Provinciale Raad (Dewan Propinsi) diketuai Gubernur, dan hanya berhak menentukan Badan Pemerintah Harian (College van Gedeputeerden) bila dipandang perlu. Walaupun tugas lembaga Provinciale Raad dan Gubernur dipisahkan, tetapi kedua lembaga ini melakanakan tugas pembantuan. Gubernur sebagai aparat daerah melaksanakan tugas rumah tangga daerah dalam porsi yang relatif kecil (1992 : 60-61).
Terhadap daerah-daerah yang lansung dikuasai, Pemerintah Hindia Belanda tidak mau ambil resiko dengan mengikuti prinsip desentraliasi devolutif yang sarat dengan muatan politik, karena dengan demikian berarti membangun basis-basis politik lokal yang secara luas menentang penjajahan. Selain itu akan memunculkan pimimpin lokal yang mempunyai basis legitimasi kuat darti bawah sehingga sangat berpengaruh. Dengan potensi demikian, lebih jauh akan berakibat penentangan, pembangkangan dan pemberontahan yang luas dari berbagai komunitas lokal. Berdasar analisis di atas politik desentralisasi pemerintah Hindia Belanda lebih pada penerapan prinsip dekonsentrasi yang mengandung arti desentralisasi administratif dari pada prinsip devolusi yang lebih berarti desentralisasi politik. Kebijakan semacam itu dapat berkait dengan kepentingan pemeritahan Hindia Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia (The Liang Gie, 1993 : 23).
Sedangkan bagi daerah-daerah yang tidak langsung dikuasai, yakni kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengikatnya secara paksa dengan perjanjian jangka panjang dan jangka pendek (Josef Riwu Kaho, 2001 : 25). Perjanjian itu sangat merugikan kerajaan-kerajaan tersebut, sehingga banyak menimbulkan penentangan dan pemberontakan diberbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian pola-pola kekerasan dalam penentangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda mewarnai politik lokal pada masa ini
Masa Pemerintahan Penjajahan Inggris
Dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Raffles jauh lebih baik, dia lebih memperhatikan kepentingan rakyat serta lebih melindungi rakyat. Kekuasaan para feodal dibatasi, untuk guna melindungi kepentingan rakyat diusahakan menghubungkan pemerintah langsung dengan penduduk, tanpa melalui pimpinan atau kepalanya sendiri. Maksud itu diwujudkan dengan pembentukan pemerintahan Karesidenan yang diberi kekuasaan pemerintahan, peradilan dan penerimaan penghasilan negara. Dengan demikian rakyat berhubungan langsung dengan pemerintah karesidenan, dan menjauhkan hubungan langsung dengan para Bupati. Selain itu penggantian Contingenten stelsel dengan Landrente stelsel (stelsel pajak bumi) menmghapus kekuasaan para Bupati untuk menarik pajak dari rakyat. Maksud yang lain adalah menghapus lembaga bupati yang feodal dan tidak liberal. Perubahan yang dilakukan Raffles tersebut dijiwai nilai-nilai demokrasi pada saat itu (Harsono, 1992 : 46-47).
Dengan demikian pada masa kekuasaan Raffles ini lembaga-lembaga pemerintah daerah dan kepemimpinan -- Bupati -- dipandang sebagai instrumen penting yang perlu diperbaiki dalam upaya pelayanan kepada rakyat. Namun demikian politik desentralisasi yang dilakukan masih tetap jauh dari devolusi, melainkan lebih menekankan pada desentralisasi administrasi. Fungsi pemerintahan lebih menekankan regulasi, sedangkan fungsi-fungsi pelayanan dan pembnerdayaan belum tersentuh. Berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan sangat sentralistik.
Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
Kebijakan Pemerintahan Daerah. Pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, Pemerintah Jajahan Jepang melaksanakan pemerintahan militer di wilayah Hindia Belanda berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan Osamuserei No. 27 tahun 1942 , yang menetapkan :
a. Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, dibagi atas beberapa Syuu (Karesidenan) sebagai daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahi; Si (Statsgemeente), Ken (Regentschap), Gun (Distrik/Kawedanan), Son (Onderdistrict), dan Ku (Desa). Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah Syuu, melainkan langsung dibawah Gunseikan;
b. Untuk masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala pemerintahannya yang disebut Tyo, jadi berturut-turut terdapat Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo, dan Sityoo;
c. Urusan yang semula dijalankan Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kepala desa, Kepala kampung (Wijkmeester) yang berada di Daerah Si (kota), diambil alih oleh Sityo;
d. Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan, yang disebut Tokubetsu Si;
e. Sepanjang tidak diubah oleh Pemerintah Balatentara Jepang, ketentuan-ketentuan dalam Regentschaps ordonnantie dan Stadsgemeente-ordonnantie dulu tetap berlaku bagi Ken dan Si (termasuk Tokubetu Si);
f. Wewenang-wewenang yang dulu dijalankan oleh raad dan college pemerintah harian dan regentschap dan stadsgemeente kini semuanya dijalankan oleh Kentyoo dan Sityoo. Jadi yang dianut ialah sistim pemerintahan tunggal oleh satu orang;
g. Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan perwakilan rakyat dilaksanakan secara konsekuen sampai September 1943. Dalam bulan tersebut ditetapkan peraturan yang mengatur pembentukan dewan-dewan baik di pusat maupun di daerah yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi pejabat tunggal itu. Tapi dalam lingkungan pemerintahan daerah dewan ini hanya diadakan di Syuu dan Tokubetu Si
8. Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum (pangreh praja) yang dalam stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahnya kini dipegang oleh Sityoo;
9. Pengawasan terhadap daerah-daerah otonom yang dulu dipegang oleh Gouverneur-General dan aparatur pemerintahan provincie kini semuanya dilakukan oleh Gunseikan.
Mengenai persekutuan-persekutuan masyarakat adat dan zelfbesturende landschappen di Jawa, tetap dipertahankan seperti keadaan pada zaman Hindia Belanda. Hanya ada perubahan nama, yaitu Desa di sebut Ku dan Landschap dinamakan Kooti. Para raja landschappen, melalui pelantikan baru dan pengambilan sumpah untuk memutuskan hubungannya dengan Kerajaan Belanda disebut Koo. Kedudukan Koo dianggap sebagai anggota keluarga dari raja Jepang.
Hal terpenting yang ada dalam Osamuseiri No.28 tahun 1942 adalah ditetapkannya Yogyakarta dan Surakarta yang diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi atau pangan, sedangkan Si dan Ken dinyatakan tetap sebagai Daerah Otonom akan tetapi keputusan-keputusannya dapat dibatalkan oleh Syuutyokan. Kemudian untuk Karesidenan dibentuk sebuah Dewan yang disebut Syu Sangi Kai yang anggota-anggotanya diangkat. Dewan-dewan ini pada hakikatnya hanya melaksanakan perintah-perintah Bala Tentara Jepang.
Kelembagaan Pemerintahan Daerah. Dengan berdasar UU No. 1 tahun 1942, bala tentara Jepang menerapkan pemerintahan militer di bekas wilayah Hindia Belanda. Wilayah bekas Hindia Belanda dibagi dalam 3 wilayah komando pemerintahan, yaitu :
a. Sumatra di bawah komando Panglima Angkatan Darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi;
b. Jawa dan Madura berada di bawah komando Panglima Angkatan Daerah XVI yang berkedudukan di Jakarta;
c. Daerah lainnya berada di bawah komando Panglima Angkatan Laut yang berkedudukan di Makassar.
Tinjauan. Dengan penghapusan dewan-dewan daerah, terbentuklah sistem pemerintahan tunggal di daerah-daerah otonom. Kepala-kepala daerah -- Syuutyookan -- mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk melaksanakan tugas-tugas militer sehari-hari di bawah komando Gunseikan. Mereka mengatur segala urusan daerah meliputi pemerintahan, kemiliteran, kepolisian, dan sebagainya (Harsono, 1992 : 70). Dibentuknya dewan dewan daerah pada September 1943 tidak mengurangi Kekuasaan pada Kepala Daerah. Karena pada dasarnya dewan ini hanya melaksanakan perintah-perintah Bala Tentara Jepang. Sehingga politik di tingkat lokal bisa dikatakan mati. Pada masa ini pemerintah Jepang sedang terlibat Perang Dunia II, sehingga tidak dapat memikirkan penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia dengan baik. Segala sesuatu mengenai pemerintahan -- termasuk pemerintahan daerah -- selalu diarahkan untuk kepentingan mencapai kemenangan perang mereka. Dengan demikian kebijakan pemerintahan daerah sangat bernuansa militeristik. Konsekuensinya dalam kebijakan pemerintahan daerah tidak mengenal prinsip desentraliasi, apalagi devolusi. Melainkan hanya mengenal prinsip dekonsentrasi yang sentralistik. Singkatnya fungsi pemerintahan hanya sebatas regulasi, dan berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan bersifat militeristik dan otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokratis.
Tinjauan Umum
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang pemrintah lokal tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak lebih hanya sekedar instrumen kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Demikian pun politik desentralisasi yang dilanbsir tahun 1903, ketika Pemerintah Belanda mengumumkan undang-undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet). Tujuan di tetapkannya Undang-Undang Desentralisatie Wet tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu politik desentralisasi tidak lebih hanya sekedar instrumen untuk menciptakan efisiensi administrasi pemerintahan penjajah Belanda. Upaya mengembangkan otonomi daerah, dibarengi dengan berbagai kebijakan yang bertujuan memanipulasi perilaku kepeminpinan lokal sehingga menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam poemerintahan yang eksploitatif. Hal itu nampak pada kebijakan trerhadap para bupati. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan para pemimpin lokal sebagai pemeras bagi rakyatnya. Dan ini merupakan warisan yang sangat merugikan bagi pemerintahan daerah di Indonesia. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa politik desentralisasi yang dijalankan di Hindia Belanda lebnih bersifat dekonsentrasi. Hal itu disesuaikan dengan maksud untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Sedangkan pada masa penjajahan Inggris melalui Raffles, walaupun secara umum tujuannya tidan jauh berbeda dengan tujuan pemerintahan Hindia Belanda, namun ada sedikit nuansa keberpihakan kepada rakyat. Hal itu terlihat ketika Raffles berusaha memutuskan hubungan langsung rakyat dengan para Bupati yang feodal dan ekploitatif, dan menggantinya dengan hubungan langsung kepada Residen yang autokratis ceptaan Raffles. Demikian juga pada masa pemerintahan bala tentara Jepang usaha Syuutyookan untuk menggalang keemampuan dan memperkuat perekonomian daerahnya tidak terlepas dari kepentingan Jepang dalam usaha memenangkan perang.
Pada masa penjajahan ini secara umum pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sangat menafikan fungsi-fungsi pelayanan dan pemberdayaan, tetapi yang menjadi prioritas utama adalah pelaksanaan fungsi regulasi. Prinsip-prinsip desentralisasi dilaksanakan dalam pengertian dekonsentrasi, yakni desentralisasi administratif, bukan dalam arti devolusi yang mengandung makna desentralisasi politik.
B. MASA AWAL KEMERDEKAAN (DEMOKRASI LIBERAL)
Kebijakan Pemerintahan Lokal. Landasan kebijakan pemerinthan daerah di Indonesia adalah pasal 18 UUD 1945. Menurut UUD 1945 Negara Indonesia merupakan “eenheidsstaat” (negara kesatuan), sehingga tidak akan mempunyai daerah yang bersifat “staat” juga. Menurut pasal 18 UUD 1945 wilayah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat “autonoom” (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Di daerah-daerah otonom akan dibentuk badan perwakilan daerah. Daerah-daerah yang mempunyai susunan asli dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut -- seperti Desa di Jawa dan Bali -- dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Tinjauan. Berdasar undang-undang ini pembentukan daerah disusun secara hierarkhis, dari atas masing-masing provinsi, karesidenan dan kabupaten/kota (Harsono, 1992 : 85). UU ini tidak mengatur karesidenan dan daerah istimewa. Pemerintah Karesidenan baru diatur dua tahun kemudian dengan PP No. 8 Tahun 1947. Pemerintah daerah terdiri atas BPRD dan Badan Eksekutif, keduanya dipimpin oleh Kepala Daerah. Wewenang BPRD meliputi mengatur kepentingan daerah (otonomi), melaksanakan peraturan perintah atasan (medebewind) dan mengatur suatu hal -- dengan pengesahan pemerintah atasan -- sesuai ketentuan perundangan umum. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat.
UU Nomor 22 Tahun 1948. Secara substansial kebijakan pemerintahan daerah yag tercermin dari UU ini bisa dikatakan cukup memadai. Berbagai keragaman lokal mendapat apresiasi, yang tercermin dalam pengakuan terhadap daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul. Hal itu memang sangat jumbuh dengan maksud dan tujuan UU No. 22 Tahun 1948 ini. Berdasar hasil penelitian R. Joeniarto, bahwa sesuai konsideran UU ini hanya mengatur pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri saja. Tentang pemerintah lokal administratif sebagaimana dimungkinkan keberadaanya oleh UUD 1945, tidak disinggung sama sekali. Dan, sebenarnya ada maksud untuk menghapuskan keberadaan pemerintah lokal administratif (R. Joeniarto, 1992 : 38).
Beberapa maksud yang esensial dari UU Nomor 22 Tahun 1948 dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Menciptakan ketunggalan perundang-undangan pemerintahan daerah untuk semua jenis dan tingkat daerah guna memupuk rasa persatuan antara daerah-daerah otonom. 2) Menciptakan persamaan cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan diluar pulau tersebut. 3) Menghilangkan pemerintahan didaerah yang dualistis. 4) Fungsi mendekatkan rakyat dan daerah tingkat terbawah dengan pemerintah pusat. 5) Penerapan desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara RI. 6) Pemberian otonomi dan medebeeind yang luas. 7) Pendemokrasian pemerintahan daerah. 8) Mendekatkan rakyat dan daerah terbawah dengan pemeintah pusat. 9) Pendinamisan kehidupan desa dan wilayah-wilayah lainnya yang sejenis dengan ini. 10) Menciptakan pendemokrasian pemerintah “Zelf Bestuurrende Landschappen”. Kerajaan-kerajaan warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan bagian dari wilayah RI yang berhak mengatur rumah tangga daerahnya sesuai dengan azas-azas yang dianut oleh negara. (The Liang Gie, 1993 : 104-105).
Daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonom (biasa) dan daerah Istimewa. Daerah dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Masing-masing daerah diberi kekuasaan mengelola sumber-sumber keuangannya sendiri.
Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD, yang masing-masing mempunyai ketua. Ketua DPRD dipilih oleh dan dari para anggota DPRD sedangkan ketua DPD adalah Kepala daerah. Jadi kini KDH tidak merangkap kedua jabatan itu seperti ditentukan dalam UU No. 1 /1945. Selain itu Kepala Daerah dan DPD, baik bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab kepada DPRD, dan wajib memberi keterangan-keterangan yag diminta DPRD. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten/Kota oleh Menagri, Kepala Daerah Desa oleh Kepala Daerah Provinsi. Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai fungsi mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD dan sebagai Ketua dan anggota DPD yang merupakan organ Pemerintah Daerah.
Tinjauan. Kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1948 bisa dikatakan sangat desentralistik dalam arti politis -- bukan sekedar dekonsentrasi -- berusaha menghapus daerah administratif sehingga semua daerah bersifat otonom. Dengan pola hubungan dalam susunan hierarkhis dibarengi pengawasan preventif dan represif akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan. Selain itu pola rekruitmen kepemimpinan daerah yang sentralistik yakni diangkat -- bukan sekedar ditetapkan -- oleh pemerintah pusat akan sulit menciptakan kepemimpinan pemerintahan daerah yang otonom. UU ini belum sempat dilaksanakan secara mapan, karena diusul terjadinya perang Agresi Belanda II yang mengakibatkan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah terjadi KMB. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1958 hanya berlaku di Nagara Bagian RI saja.
UU NIT Nomor 44 Tahun 1950. Jiwa UU ini mendekati UU 22/1948, hanya disesuaikan dengan struktur negara bagian. Undang-undang NIT 44/1950 menetapkan bahwa NIT tersusun atas dua atau tiga tingkatan daerah otonom yang bertingkat, dari tingkat yang tertinggi masing-masing adalah 1) Daerah, 2) Daerah Bagian, dan 3) Daerah Anak Bagian. “Daerah” berada dibawah pengawasan pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Sebaliknya “Daerah” sendiri mengawasi “Daerah Bagian” dan “Daerah Anak Bagian”. Pengawasan ini baik bersifat preventif (hak mengesahkan) maupun represif (Hak menunda/membatalkan). Terhadap penolakan mengesahkan suatu keputusan oleh Daerah dapat diajukan keberatan oleh “Daerah Bagian” atau “Daerah Anak Bagian” kepada Pemerintah NIT, sedangkan penolakan pengesahan oleh Pemerintah NIT suatu Daerah dapat banding kepada pemerintah RIS. Daerah mempunyai hak memungut pajak dan mengadakan pinjaman uang menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan., yaitu peraturan-peraturan warisan masa Hindia Belanda maupun yang dibuat oleh Negara Indonesia Timur .
Tinjauan. Pada masa berlakunya UU ini peran Pemerintahan Umum Pusat di Daerah yang dilaksanakan Pamong Praja masih begitu kuat -- sehingga seolah-olah terdapat dualisme pemerintahan daerah, dan ini akan di hilangkan dengan UU tersebut, diperkuat dengan Kepmendagri No. Pen.10/2/18 tahun 1957, yang bermaksud : 1) merealisasikan pemerintahan daerah tunggal, dengan bentuk Dewan (DPRD dan DPD), 2) Meniadakan wakil pemerintah pusat -- yang mempunyai wewenang dalam pemerintahan umum seperti Pamong Praja -- di daerah. (Harsono, 1992 : 101)
Tinjauan Umum.
Dengan ketentuan adanya badan legislatif daerah itu, daerah otonom dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti daerah tersebut mempunyai kekuasaan politik. Namun demikian dapat dikatakan desentralisasi yang dianut lebih bermakna dekonsentrasi dari pada devolusi. Terutama bila dilihat dari kedudukan kepala badan legislatif yag dirangkap oleh kepala daerah. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat. Dualisme fungsi kepala daerah berarti pula bobot pelaksanaan fungsi lebih kepada sebagai perangkat pemerintah pusat. Perwujudannya adalah pertanggung jawaban kepala lebih kepada pemerintah pusat dari pada kepada DPRD. Susunan daerah yang bersifat hierarkhis mempunyai implikasi terhadap pengawasan yang kuat terhadap berbagai tingkat daerah. Dengan demikian dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah nuansa sentraliasi masih sangat terasa.
Jika dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, sebenarnya belum ada batasan yang tegas antara pelaksanaan otonomi dengan medebewind, sehingga daerah mengatur urusan-urusan mengenai keamanan dan ketertiban. Disamping tugas mengatur (otonomi) daerah-daerah juga mengurus hal-hal yang hubungan dengan perjuangan kemerdekaan beserta akibat-akibatnya, seperti mengadakan Fonds Kemerdekaan, menyelenggarakan pemindahan pengungsi dsb (The Liang Gie, 1993: 54-55). Keadaan demikian memang tidak terlepas dari suasana politik dalam negeri Indonesia masa itu, sehingga fungsi pemerintahan daerah dilaksanakan berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan dalam rangka “nation building”. Ditambah dengan permasalahan yang kompleks yang menuntut pengaturan yang sangat banyak, tidak mungkin merombak secara total berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya. Dengan pemahaman demikian kebijakan desentralisasi masih belum bergeser terlalu jauh dari pelaksanaan desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, yakni penekanan pada desentralisasi administrasi bukan desentralisasi politik. Sehingga pada masa demokrasi liberal ini, dalam pelaksanaan pemerintahan pemerinrahan realitas pengaturan formal itu sangat terasa lebih sentralistis daripada desentralistis.
C. MASA DIKTATORIAL
Tinjauan. Berdasar peraturan ini terdapat dualisme kedudukan Kepala Daerah, yakni sebagai alat pemerintah pusat sekaligus sebagai alat pemerintah daerah. Kecuali itu Kepala Daerah mempuyai kedudukan sentral yang sangat kuat (dalam The Liang Gie, 1994 : 215). Karena ia sekaligus memimpin DPRD sehingga ia tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan kepada Presiden. Kepala daerah dan DPRD lebih berperan sebagai perangkat pemerintah pusat. Konsekuensinya adalah lembaga pemerintah dan kepemimpinan daerah berorientasi pada efektifitas pengaturan pusat. Dengan demikian UU ini tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Desentralisasi yang dilaksanakan lebih berbobot pada dekonsentrasi. Akibat selanjutnya adalah bahwa kemandirian daerah belum dapat terbina secara baik.
Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959 ini desentralisasi politik dirasakan masih sangat riskan, karena di berbagai daerah di Indonesia berkembang kecenderungan pembangkangan terhadap pusat terutama akibat ketidak puasan atas distribusi sumber daya yang tidak seimbang. Kecenderungan itu mengambil momentum ketika diberlakukan demokrasi parlementer yang sangat liberalistik. Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk menjawab keadaan tersebut.
Fungsi pemerintahan daerah adalah untuk turut menciptakan pemerintahan yang stabil; pengawasan jalannya pemerintahan di daerah secara efektif dan efisien; memelihara kepentingan, keamanan dan ketertiban umum serta memajukan kesejahteraan rakyat. Selain itu untuk membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat berdasar prinsip kemandirian politik, ekonomi dan kebudayaan.
Adanya sistem pengawasan dan pengendalian ketat, yang ditandai dengan susunan daerah yang bertingkat dan fungsi kepada daerah sebagai alat pemerintah pusat mengambarkan tidak adanya pembagian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik desentalisasi masih sangat bersifat dekonsentratif.
D. MASA TRANSISI (TAHUN 1999 - Sekarang)
Hubungan Kekuasaan Antar Pemerintah Daerah. Propinsi sebagai Daerah Otonom sekaligus daerah administratif. Konsekuensinya Propinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan pada Gubernur dan propinsi bukan merupakan pemerintah atasan Daerah Kabupaten dan Kota, artinya tidak ada hubungan hirarki. Dalam praktek terdapat hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai wilayah administratif, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, pengawasan represif dan preventif serta tugas-tugas pembinaan kepada pemerintah Propinsi perlu dilimpahkan wewenang tertentu, diantaranya wewenang pengambilan keputusan. Sehingga masalah-masalah dapat diselesaikan dengan cepat oleh Gubernur.
Penyerahan urusan menggunakan sistem residu, dengan asumsi sebanyak mungkin urusan diserahkan pada daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota ditangani pemerintah Propinsi. Bila propinsi juga tidak mampu urusan itu ditangani pemerintah Pusat.
Menurut Undang-Undang ini Pemerintah Daerah berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut parakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemisahan DPRD dengan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung-jawaban Pemerintah Daerah pada rakyat.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kebijakan Pemerintahan Daerah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kebijakan pemerintahan daerah sejak zaman penjajahan hingga UU No. 5 Tahun 1974 lebih banyak diwarnai penerapan desentralisasi dalam arti teknis administratif yang berarti dekonsentrasi. Hal itu tidak lepas dari penilaian kondisi-kondisi obyektif dengan tujuan dan kepentingan negara. Pada zaman penjajahan untuk kepentingan kolonialisme (zaman penjajahan Belanda & Inggris), kepentingan perang (zaman pendudukan Bala Tentara Jepang).
Pada masa “Orde Lama” kepentingan negara adalah nation building. Sedangkan pada masa Orde Baru untuk kepentingan persatuan & kesatuan nasional, pembangunan ekonomi & stabilitas nasional serta legitimasi kekuasaan (Colin MacAndrew dalam Tim Lapera, 2000 : 56). Atas dasar hal itu desain UU No. 5 Tahun 1974 yang sentralistik bisa dipahami.
Pada masa demokrasi liberal di bawah “Orde Lama” kebijakan pemerintahan daerah yang sentralistik menimbulkan tantangan dari elit politik lokal di berbagai daerah. hal itu terutama dipicu oleh kegagalan pusat dalam melaksanakan desentralisasi politik dan desentraliasi fiskal terutama kepada daerah-daerah di luar Jawa. Politik sentralisasi meruntuhkan kepemimpinan lokal di luar Jawa. Akibatnya timbul kecemburuan daerah-daerah tersebut terhadap pusat di Jawa, sehingga terjadi berbagai pemberontakan di darah luar Jawa.
Beberapa akibat buruk pelaksanaan otonomi masa rezim Orde Baru. 1) Otonomisasi yang semestinya mengurangi kecenderungan sentralisasi kekuasaan, justru memperkuat dominasi pusat terhadap daerah. Terjadi ketergantungan Daerah kepada pusat, baik dari segi dana maupun program pembangunan daerah, sehingga kreativitas daerah membeku. 2) Penyeragaman pola pemerintahan desa menghancurkan keragaman budaya lokal di berbagai daerah. 3) Lembaga demokrasi di daerah seperti DPRD tidak berfungsi. Tiadanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak hanya mengaburkan fungsi dan peran kedua lembaga itu, juga menghancurkan sistem kontrol terhadap kinerja pemerintahan daerah. 4) Sentralisasi kekuasaan berakibat pada penyedotan berbagai sumber daya daerah ke pusat. 5) Lambatnya perkembangan daerah -- khususnya SDM -- terutama di luar Jawa, 6) sentralisasi memungkinkan digantikannya instrumen-instrumen asli daerah dengan instrumen baru dari pusat, 7) Ketidak-adilan ekonomi antara pusat dan daerah, Jawa dan Luar Jawa (Tim Lapera, 2000 : 70-71)
Dengan perubahan kebijakan pemerintah tentang pemerintah daerah, khusunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlah terjadi perubahan yang fundamental. Terutama dengan proses demokratisasi. Undang-undang tersebut mengatur pemerintahan daerah berdasar prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Dengan demikian memberi peluang yang sangat luas bagi daerah dan masyarakatnya untuk menata penyelenggaraan pemerintahan lokal secara mandiri sesuai kebutuhan setempat.
Kelembagaan Pemerinrah Daerah. Sebelum UU No. 22 Tahun 1999, susunan daerah terdiri atas daerah otonom dan wilayah administratif (kecuali UU No. 22 Tahun 1948) dan bersifat hierarkhis, dengan maksud pelaksanaan pengendalian atas daerah-daerah demi kepentingan nasional (baca : rezim). Pemerintah daerah tidak dibedakan secara tegas antara eksekurif dan legislatif, sehingga lembaga perwakilan rakyat menjadi inferior dan kurang berfungsi secara wajar. Sampai dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 fungsi pemerintahan daerah lebih menekankan pada regulasi (pengaturan) dari pada pelayanan dan pemberdayaan. Hal-hal tersebut dirombak dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. UU yang terakhir ini tidak mengenal daerah administratif (kecuali pada daerah propinsi) sehingga tidak mengenal susunan hierarkhi daerah, membedakan secara tegas antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dalam hal kewenangan urusan UU ini menggunakan sistem residu dan prinsip “uang mengikuti urusan”, yang berbeda dengan sistem yang dianut UU sebelumnya, yakni sistem riil dan prinsip “urusan mengikuti uang”. Fungsi pemerintahan daerah lebih seimbang antara regulasi (pengaturan) dari pada pelayanan dan pemberdayaan.
Kepemimpinan Daerah. Sebagaimana kelembagaan, sebelum UU No. 22 Tahun 1999, kepemimpinan daerah lebih mencerminkan perangkat pusat dari pada perangkat daerah. Kedudukan Kepala Daerah merangkap jabatan kepala wilayah administrasi (Gubernur, Bupati, Walikota). Peran kepala wilayah menjadi dominan. Kepala daerah lebih ditentukan oleh dan bertanggung-jawab kepada pusat (dan pemerintahan atasan) dari pada kepada lembaga DPRD. Peran Kepala Daerah lebih dominan daripada lembaga DPRD. Dengan kondisi demikian pada masa ini DPRD terkooptasi kepala daerah lebih berorientasi kepada pusat, dan cenderung menafikan kepentingan rakyat daerah. Desain kepemimpinan daerah semacam ini kurang memperhatikan faktor ketanggapan terhadap aspirasi masyarakat lokal. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999, kepala daerah, selain gubernur, tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Ia merupakan alat daerah, dipilih dan bertanggung jawab kepada lembaga DPRD. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud kepemimpinan daerah yag mempumnyai basis legitimasi kerakyatan yang kuar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa permasalahan politik lokal dan pemerintahan daerah. 1) Perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah serta antara berbagai lembaga pemeritahan pusat tiak dapat dipertemukan secara tepat. 2) Kurangya konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Hal ini biasa terwujud dalam bentuk perebedaan kebijakan pokok dengan kebijakan pelaksanaan. 3) Desentralisasi politik (devolusi) tidak dibarengi dengan desentralisasi fiskal. 4) Kebijakan pokok -- UU pemerintahan daerah -- tidak segera ditindak-lanjuti dengan aturan pelaksanaan yang komprehensif. 5) Dari berbagai kebijakan secara keseluruhan, kebijakan desentralisasi selalu dibarengi semacam ketidak-percayaan kepada daerrah, terutama potensi disintegrasi. Rupanya hal itu terkait dengan hal berikut. 6) Perkembangan politik lokal diwarnai kecenderungan menguatnya paham nasionalisme etnisitas. 7) Kebutuhan pemerintah pusat akan legitimasi, mendorong penguasaan atas sumber-sumber ekonomi untuk redistribusi pada daerah-daerah.
2. Saran
Diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah pusat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemerintahan. Semua pihak harus ikut serta dalam upaha peningkatan pembangunan demi tersiptanya kemakmuran rakyat.

3 comments:

  1. kalo boleh kasih saran, warna tulisannya digelapkan . kalo kuning ga kelihatan

    ReplyDelete
  2. klo boleh kasi saran warna tulisannya di kasi warna putih sekalian
    hambar dah tuh makalah
    siip kan !!!

    ReplyDelete