Periode
politik di Indonesia pada tahun 1945-1949 merupakan suatu periode
revolusi fisik bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan,
yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno & Hatta. Setelah lebih dari
300 tahun bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda, akhirnya pada tanggal 9
Maret 1942 pemerintah Belanda menyerah kepada militer Jepang. “Setelah
pemerintah Belanda di Indonesia pada 9 Maret 1942 menyerah kepada
militer Jepang di Bandung dengan hampir sama sekali tiada mengadakan
perlawanan , maka tinggallah bangsa kita yang tiada bersenjata menjadi
umpan militerisme Jepang yang keras dan kejam itu”.[1]
Cita-cita
bangsa Indonesia untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka untuk pertama
kalinya dirumuskan pada akhir tahun duapuluhan dan diawal tahun
tigapuluhan dimana saat itu pergerakan nasionalis mengalami kematangan
yang baru sebelum mereka kehilangan beberapa pemimpinnya pada
pertengahan tahun tigapuluhan dan akhir tahun tigapuluhan akibat
kekerasan dan kekejaman Belanda. Dengan adanya cita-cita tersebut,
dengan sendirinya menimbulkan berbagai pemikiran dan gagasan tentang
bagaimana menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan memiliki pemerintahan
sendiri. Setelah pemerintahan atas Indonesia berpindah dari pemerintah
Belanda ke tangan pemerintahan militerisme Jepang yang sangat kejam dan
menyengsarakan rakyat Indonesia, mulailah timbul rasa kebangsaan untuk
melakukan perubahan bagi rakyat indonesia, hal ini seperti yang ditulis
dalam teks Manifesto Politik November 1945 yang mengatakan, “ Maka pada
saat itu timbullah pada rakyat kita kesadaran baru, perasaan kebangsaan
yang lebih tajam daripada di waktu yang lalu. Perasaan itu dipertajam
lagi oleh propaganda keasiaan Jepang. Kekerasan yang dilakukan Jepang
tidak menghambat tumbuhnya kesadaran kebangsaan Indonesia”.
Dua
tokoh Proklamator kemerdekaan bangsa ini, yaitu Soekarno & Hatta,
memiliki ciri masing-masing dalam pemikiran dan gagasannya mengenai
suatu bangsa yang merdeka. Di satu pihak, Soekarno lebih menekankan
kepada persatuan dan kebesaran bangsa yang dapat mengobarkan semangat
kebangsaan, di lain pihak Hatta lebih menekankan tentang kemakmuran dan
demokrasi bagi rakyat Indonesia. Pemikiran dari kedua tokoh tersebut
memang memiliki sudut pandang yang berbeda, tetapi pada hakikatnya,
kedua pemikiran tersebut memiliki banyak kesamaan, dan perbedaan yang
terdapat dari keduanya saling melengkapi bagaikan suatu gembok dengan
kuncinya.
Pemikiran
kebangsaan Soekarno, dituangkannya dengan membentuk suatu partai
politik yang telah dicita-citakannya sejak lama, yaitu Party National
Indonesia (Partai Nasional Indonesia). Partai ini didirikan pada tahun
1927 saat mana rakyat masih kebingungan karena pembasmian komunisme di
Indonesia.[2]
Pada tahun 1930, Soekarno dituduh oleh pemerintah Belanda akan
melakukan pemberontakan yang kemudian ditangkap dan diadili di
Pengadilan Negeri bandung. Pada pengadilan tersebut beliau menyampaikan
pidato pembelaannya yang mengobarkan semangat nasionalisme bangsa, “PNI
mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasionaliteit,
di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membukakan
kenikmatan hari kemudian…. Dan cara menyuburkan nasionalisme itu?
Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah tiga: pertama: kami
menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu
yang indah; kedua: kami menambah keinsyafan rakyat, bahwa ia punya hari
sekarang adalah hari sekarang yang gelap; ketiga: kami memperlihatkan
kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca,
beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan
janji-janji itu…”[3]
Selain
itu, pemikiran Soekarno tercermin dari pidato spontannya pada 1 Juni
1945 di depan BPPK, yang dalam pidato ini untuk pertama kalinya
pancasila diungkapkan dan kemudian diterima sebagai landasan falsafah
negara Indonesia. Dalam pidatonya, Soekarno mengungkapkan bahwa ada 5
prinsip dasar kebangsaan, yaitu: 1. Nasionalisme; 2. Internasionalisme;
3. Permusyawaratan dan perwakilan; 4. Kesejahteraan; 5. Ketuhanan.
Kelima Dasar Negara yang diusulkan Soekarno ini kemudian dia sebut
sebagai Pancasila.
Sedangkan
dalam pemikiran kebangsaan Hatta, kemakmuran dan demokrasi merupakan
aspek yang mutlak harus dicapai oleh bangsa ini. Hal ini dapat terlihat
dari pidatonya ketika menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas
Gadjah mada pada 27 November 1956, empat hari sebelum pengunduran
dirinya dari jabatan Wakil Presiden.[4]
“ Indonesia merdeka di masa datang mestilah negara nasional, bersatu
dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan asing dalam rupa apapun
juga,politik dan ideologi. Dasar-dasar perikemanusiaan harus terlaksana
dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara seorang dengan
seorang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa.” Dalam
pidatonya ini dapat terlihat bahwa Hatta lebih menekankan pentingnya
suatu integritas bangsa yang bebas dari segala bentuk penjajahan untuk
menciptakan suatu kemakmuran dan demokrasi yang menjadi dasar sutu
negara.
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak
mendapatkan pengakuan dari Belanda yang juga merupakan sekutu Inggris.
Kedatangan kembali kedua negara tersebut ke Indonesia, menjadikan bangsa
Indonesia menghadapi tekanan dan tantangan dalam mempertahankan
kemerdekaan. Sikap Soekarno yang berteman dengan Jepang pada waktu itu
menjadi suatu kekurangan yang menjadikan kekuasaan pada bulan Oktober
dan November berpindah ke tangan Syahrir sebagai Perdana Menteri.
Syahrir dan Hatta sebagai wakil presiden, menempuh cara perundingan
dengan Belanda dalam usaha mempertahankan kedaulatan Indonesia. Strategi
menghimbau negara barat dan mengacu “susunan baru setelah perang” itu
dinyatakan dalam Manifesto Politik pada tanggal 1 November 1945.[5]
Semangat
mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia di mata dunia merupakan
suatu tujuan perjuangan bangsa Indonesia pada periode tahun 1945-1949.
Dengan banyaknya berbagai tekanan terhadap Indonesia menjadikan para
pemimpin bangsa pada waktu itu perlu untuk mengambil suatu tindakan
strategis. Berbagai pemikiran kebangsaan pada periode tersebut,
memperlihatkan kepada kita bagaimana pemikiran politik Indonesia pada
periode tersebut dalam usahanya menciptakan kedaulatan bangsa. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran politik Indonesia pada tahun
1945-1949 banyak terwakilkan oleh orang-orang yang western oriented
khususnya eropa: Hatta dan Syahrir, tetapi pemikiran-pemikiran tersebut
dapat memberikan kekuatan bagi Indonesia untuk tetap bisa bertahan pada
perpolitikan dunia. Dan semangat integritas dan kebesaran nasionalis
yang terus dikobarkan oleh Soekarno, menjadikan bangsa ini terus
memiliki semangat untuk terus dapat membangun negara.
[1]
Dikutip dari “Manifesto Politik November 1945” dalam buku “Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965” karangan Herbert Feith & Lance Castles,
hal 27.
[2] “Soekarno Sebagai Manoesia”. Im Yang Tjoe (ditulis kembali oleh peter A. Rohi). Panta Rei: Jakarta. 2008. hal 59.
[3] “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. Herbert Feith & Lance Castles. LP3ES: Jakarta. 1988. hal 4.
[4] Ibid. hal 7.
[5] Lihat “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. Herbert Feith & Lance Castles. Hal 27.
source blog: http://aldiaputra.wordpress.com/2008/05/20/pemikiran-politik-indonesia-1945-1949/
No comments:
Post a Comment