Pages

Monday, July 25, 2011

BIROKRASI INDONESIA-BIROKRASI PATRIMONIAL

A.Defenisi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, da
Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.


B.Birokrasi Patrimonial.

Terminologi patrimonial adalah konsep antropologi yang secara nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari kata patris yang berarti Bapak. Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang. Kata sifat dari konsep tersebut adalah patrimonial yang berarti sistem pewarisan menurut garis bapak. Menurut The Consolidated Webster Encyclopedia Dictionary dalam Moedjanto (1998:101) menuraikan bahwa dalam perkembangan lebih lanjut, konsep tersebut mengandung pengertian yakni sistem pewarisan nenek moyang yang mementingkan laki-laki atau perempuan dengan perbandingan yang dua lawan satu.

Disamping birokrasi rasional yang dipelopori oleh Max Weber. Schrool (1980:167) yakni seorang pakar modernisasi dunia berkembang membedakan jenis birokrasi menjadi birokrasi modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur prestasi, maka pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya, yakni menekankan pada ikatan-ikatan patrimonial (patrimonial ties) yang menganggap serta menggunakan administrasi sebagai urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih tegas, Weber sebagaimana yang dikemukakan oleh Santoso (1997:22) menegaskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan kekuasaanya. Selain itu, ciri daripada birokrasi patrimonial disebutkan bahwa:

i). Pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, ii) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan, iii) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, iv) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan pribadi penguasa merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.”(Weber dalam santoso, 1997:23).

Dalam perkembangannya kemudian, Maquet (1961) sebagaimana yang disebut Balandier (1970-95) mengemukakan bahwa:

”for Maquet feudality is not a mode of production (although a way defening the role of goverment and governed. The specific is the fact is the interpersonal link: feudal institution set up between two person unequal in power relation of protection on the one hand and fidetity and service on the other. They link the lord with the vassal (at the higer level of social satisfication) and the patron with the client (from a higer to a lower level of satisfication)”

Pendapat Maquet sebagaimana yang dikemukakan oleh Balandier (1970:95) bahwa feodalitas bukan merupakan sebuah cara produksi, tetapi sebuah rezim politik yakni cara untuk mendefenisikan antara yang memerintah dan diperintah. Pranata feudal ini disusun antara dua orang yang tak setara dalam hubungan politik pada landasan perlindungan disatu pihak serta kesetiaan dan pelayanan pada pihak lain. Hubungan tersebut mempertautkan hubungan patron klien (patron and client) dari tingkat yang paling tinggi hingga paling rendah pada stratifikasi tersebut.

Lebih lanjut, dalam analisa Myrdal seperti yang dikutp oleh Jakti (1980: 6) mengemukakan bahwa:

“Keterbelakangan dinegara dunia ketiga dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas yang mengikutsertakan berbagai factor non ekonomis termasuk factor birokrasi pemerintahan. Di dunia ketiga menunjukkan betapa hambatan-hambatan pembangunan disana muncul justru dari kalangan aparat negara. Ia menyebut mesin politik merupakan bagian dari dominasi politik oleh suatu suku, daerah atau agama yakni kelompok-kelompok primordial (primordial group) ataupun merupakan bagian dari partai yang berkuasa. Ia menjelaskan berlainan dengan negara-negara industri di Barat bahwa aparat negara bersikap netral, objektif dan rasional dalam melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka. Aparat negara bersikap apolitis mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan umum. Tugas utama aparat negara adalah turtut memelihara dan memperkuat ketertiban umum dan hukum (law and order) tanpa pamrih terhadap golongan politik yang manapun”.

Selanjutnya Jakti (1980:7) memperjelas bahwa pada birokrasi patrimonial terlihat pada hubungan-hubungan yang ada yang secara intern dan ekstern adalah hubungan patron klien yang bersifat pribadi dan khas. Dalam hubungan pada birokrasi patrimonial akan timbul masalah pertukaran loyalitas politik dan sumber ekonomi. Pada kelompok yang loyal akan diberikan sumber ekonomi sedang pada mereka yang tidak loyal akan dibendung dan dimatikan sumber-sumber ekonominya. Kepentingan negara-bangsa (nation state) bukanlah dipertimbangkan dalam hubungan patron klien melainkan hubungan pribadi-pribadi, baik berbasis kepada kepentingan sendiri, golongan ataupun partainya.

Dalam banyak hal, akibat daripada birokrasi patrimonial ini merembes kedalam praktek birokrasi yang korup yang lepas dari konstitusi, perundang-undangan ataupun legislasi lainnya. Sejalan dengan itu, Jakti (1980:6) mengemukakan bahwa patrimonial bertentangan dengan upaya melembagakan kehidupan bernegara karena itu kegiatan-kegiatan birokrasi menjurus pada penyelewengan, makin tak jelasnya peraturan ataupun kelembagaanya yang memudahkan terjadinya korupsi. Apabila gejala ini dibiarkan, maka timbullah penyelewengan-penyelewengan (abuse of power) serta kurang mampunya membedakan antara yang salah dan benar.

Pada dunia ketiga terdapat dua motif yang saling bergantungan, namun berbeda dan sungguh-sungguh bertentangan. Menurut Geertz (1992:78), kedua motif tersebut adalah sebagai berikut:

i) adanya keinginan untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggungjawab yang memiliki keinginan-keinginan, tindakan-tindakan, harapan-harapan dan opini-opini yang berharga membangun sebuah negara modern yang efisien dan dinamis dengan sasaran praktisnya sebuah tuntutan akan kemajuan, untuk meningkatkan standard hidup, tatanan politis yang lebih efektif, keadilan sosial yang lebih luas dan melampaui itu memainkan bagiannya dalam panggung politik dunia yang lebih luas, ini terkait dengan kewarganegaraan di dalam sebuah negara modern, ii) dalam kenyataan, terjadi ketegangan yang mengambil bentuk khusus dan kronis di negara baru itu, baik pada taraf tertentu bangsa-bangsa itu merasa diri tetap terikat pada sejumlah besar kenyataan darah, ras, tempat, agama atau tradisi, maupun karena kepentingan kedaulatannya bernegara untuk mewujudkan tujuan bersama. Malah lebih buruk lagi lewat dominasi yang dilakukan oleh komunitas etnik, ras atau linguistik, ditengah saingan lainnya yang dapat mengisi tatanan bernegara dengan watak kepribadiannya sendiri.

Dari uraian tersebut, Geertz menyimpulkan bahwa sejumlah negara yang baru merdeka yang multietnik ditemukan bahwa negara sebenarnya hanyalah merupakan arena tempat bertarungnya ikatan-ikatan primordialisme. Geertz menyebutkan bahwa persaingan-persaingan itu termanifestasi dalam politik lokal. Geertz (1992:81) mempertegas:

”Kristalisasi dari sebuah konflik langsung adalah sentimen-sentimen primordial dan sentimen-sentimen sipil serta kerinduan untuk tidak masuk kedalam salah satu kelompok lain. Inilah yang membuat bermacam-macam masalah seperti sukuisme, daerahisme, komunalisme dan seterusnya, sebuah kualitas yang mengancam secara tidak lebih menyenangkan dan mendalam daripada kebanyakan masalah lain yang juga sangat serius dan menjengkelkan yang dihadapi negara-negara baru itu”

Selain itu, Evers dan Scheil (1992:16) mengemukakan bahwa di Asia Tenggara ditempuh cara untuk mengurangi persaingan antar manusia dengan mengizinkan mobilitas sosial dan mempropagandakan idiologi kesempatan yang sama bagi semua orang. Dimana, dengan memberikan kesempatan yang sama itu, diharapkan persaingan individu yang tajam dapat direduksi atau hampir tidak terjadi dalam masyarakat. Loyalitas kekeluargaan dan kesukuan masih berpengaruh besar. Oleh karenanya, jalan keluar yang diterapkan oleh masyarakat Asia adalah bentuk klik dan sistem patron (perlindungan). Pembagian uang dari pemerintah dan penghadiahan posisi (jabatan) serta juga kadang-kadang pembagian keuntungan hasil korupsi menyebabkan patron dapat bertahan untuk jangka waktu lama.

Menurut Sairin (2001:173), di Indonesia yang marak dengan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari sudut internal pelaku terjadi karena rendahnya gaji atau upah, ketidakcukupan gaji untuk memenuhi kebutuhan dasar sehingga mencari sumber lain untuk menopang kehidupan keluarga. Sedang dari sudut eksternal ialah faktor beban budaya (culture burden) yang dilekatkan pada pundak aparat pemerintah. Semakin maraknya budaya konsumtif ditengah kehidupan masyarakat, adanya tuntutan nilai yang datang dari masyarakat, ataupun pemenuhan simbol jabatan birokrasi menuntut aparatur birokrasi tersebut melekatkan dirinya pada status sosial yang dia pegang. Dalam arti lain disebutkan bahwa, pada saat seseorang mengalami perubahan ataupun mobilitas vertikal, maka beban kulturalnyapun menjadi bertambah. Dalam pengertian Turner yang dikutip oleh Sairin (2001:177) yakni adanya liminality, yakni hanyutnya seseorang pada satu kelompok sosial yang memiliki sistem nilai dan simbol yang berbeda dengan masyarakat awalnya, dimana dia sebelumnya mengelompok.

Beban kultural (culture burden) menurut Dalton (1968) dan Ekih (1974) sebagaimana yang dikutip Sairin (2001:181) adalah seperti praktek menyantuni keluarga dan kerabat. Hal ini menurutnya akan mendorong lajunya KKN yang berakar pada prinsip tukar menukar (reciprocity) yang umum melekat pada kebudayaan masyarakat negara-negara berkembang. Ironisnya menurut Sairin (2001:182) adalah berkembangnya jaringan-jaringan pekerjaan yang relatif tertutup dan terorganisir bahwa jabatan-jabatan ditempat basah selalu menjadi rebutan. Oleh karena itu, dalam berbagai kasus tidak jarang orang yang merebut jabatan itu tidak ragu-ragu menyediakan dana yang cukup besar sebagai uang balas jasa kepada pejabat yang berwenang memutuskannya. Kenyataan lain menurut Muhaimin (1980:23) adalah bahwa prinsip malu, segan, sindiran, tenggang rasa, hormat bapak, hutang budi dan sistem bapakisme (patron client relationship) yang luar biasa mengagumkan halusnya di Indonesia.

Proses sosial budaya yang menimbulkan adanya kelompok dan klik-klik dalam masyarakat yang menentukan jalanya rekruitmen kepada jabatan-jabatan birokrasi. Karir politik seseorang dalam masyarakat semacam ini lebih bergantung pada kecerdikan orang dalam memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi dan atau politik sebagaimana halnya dalam memanfaatkan pekerjaan dan jabatan. Jabatan-jabatan birokrasi ini lebih banyak ditentukan oleh persetujuan dan penjukan dari pemegang jabatan ditingkat atas.

Selanjutnya, Muhaimin (1980:23) mempertegas bahwa pada dasarnya determinan pokok kenaikan jabatan adalah faktor-faktor seperti kawan lama, kawan sejak kecil, hubungan darah atau perkawinan, juga kesamaan etnis, ataupun keanggotaan politik. Legitimasi kekuasaan politik termasuk wewenang jabatan birokrasi amat ditentukan oleh sistem hubungan anak-bapak. Ini berarti bahwa konsep bapakisme merupakan salah satu sumber legitimasi yang kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menganut birokrasi Patrimonial. Onghokham (1980:12-13) menguraikan bahwa:

”pada zaman kerajaan tradisional Jawa, kerajaan Mataram, para pejabat raja bersifat otonom, sistem keuangan tidak diatur dari pusat. Setiap pejabat tidak digaji dari pusat dengan sejumlah uang tunai. Pejabat harus pandai mencari biaya-biaya dari lungguh (sejumlah sensus terhadap kepemilikian tanah). Setiap rakyat, termasuk pemegang lungguh harus memberi upeti kepada raja, melalui pejabt-pejabat keraton. Pada waktu itu, sistem ini dianggap legal”.

Tetapi akan berbeda halnya apabila setoran kepada raja semakin kecil akibat potongan persen yang diambil pejabat keraton. Keuangan raja makin kurang memadai dan oleh sebab itu, raja memanggil orang lain dari lapisan bawah dari luar pejabat keraton seperti orang Cina dan Arab sebagai alat eksploitasi. Lebih lanjut Onghokham (1980:13) menyebutkan bahwa orang-orang asing ini (Cina dan Arab) lebih efisien. Raja (priyayi) dapat lebih terbuka kepada mereka sebab tidak perlu mempertahankan muka. Begitu juga dengan demang atau bekel yakni penarik becak ditingkat desa adalah orang Cina, jauh lebih berhasil untuk mengumpulkan uang. Keadaan seperti ini adalah contoh hubungan kepentingan patron klien yang sering terjadi pada birokrasi patrimonial, terutama yang terkait dengan sumber-sumber keuangan, pendapatan pribadi ataupun pendapatan resmi seperti pajak dan lain-lain.

Pada sisi yang lain, Onghokham (1982:19) menyoroti integrasi agama pada kerajaan Mataram. Ia menyebutkan bahwa integrasi agama dalam kerajaan adalah penting, walaupun tidak semuan raja berhasil mencapainya. Kalau priyayi mewakili satu golongan dimasyarakat, maka agama cenderung mewakili seluruh lapisan masyarakat pengikutnya, baik yang berasal dari priyayi, petani, pedagang, tukang yang menganut agama yang sama. Namun demikian, Buchari (1982:70) menyebut bahwa pada tingkah laku birokrasi sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Ia memberi contoh seperti birokrasi di Indonesia. Sangat berbeda-beda halnya dengan sistem birokrasi militer, birokrasi gubernuran, ataupun birokrasi di universitas. Perbedaan antara ketiga jenis birokrasi itu berakar pada hirarki nilai-nilai yang menjadi dasarnya.

Buchari (1982:76) mengingatkan situasi pembangunan dewasa ini sering dirasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi di Indonesia kurang dapat memenuhi tuntutan pembangunan. Misalnya dengan berbagai kegiatan pembangunan menuntut adanya kordinasi antara berbagai instansi yang dirasakan sulit untuk menciptakan kordinasi semacam itu. akan tetapi akibat kebiasaan-kebiasaan tertentu yang telah ada dalam birokrasi menghambat dalam pelaksanaan tersebut. Dari sisi yang lain, Vroom (1982:28) mencoba mengupas ulang birokrasi patrimonial-rasional. Ia mengemukakan bahwa sangat dipengaruhi nilai tambah kekuasaan organisasi. Dikemukakan:

”Didalam setiap organisasi, orang tak akan bekerjasama untuk melakukan sesuatu yang dapat mereka kerjakan sendiri-sendiri. Mereka membentuk organisasi agar supaya dapat bekerjsama dengan lebih efisien dan apabila mungkin berdaya hasil. Manakala orang dalam keadaan relatif kekurangan sumber daya lalu mengambil prakarsa untuk bekerja sama secara organisasi maka akan berkembanglah kemungkinan membesarnya difrensial hirarki atau apa yang dinamakan garis kepemimpinan”

Beberapa orang dengan demikian akan memimpin pekerjaan orang lain. Justru aktivitas inilah yang membuat mereka dalam keadaan lebih baik untuk bisa memperoleh kesempatan dan penguasaan atas nilai tambah atau nilai lebih itu. Dengan demikian, akan bertambahlah kekuasaan mereka secara langsung apabila organisasi digunakan. Lebih lanjut Vroom (1982:30) menyebutkan:

”organisasi didasarkan atas representasi realitas-realitas kemasyarakatan dan keorganisasian yang sekurang-kurangnya dibentuk karena kepentingan pribadi atau partainya. Organisasi yang ditujukan guna memecahkan masalah bersama secara intern akan berfungsi lebih baik sejauh apabila masing-masing pihak menganggap bahwa hal itu rasional, efisien dan efektif bagi strategi sendiri. Dari uraian ini, perbedaan antara dunia kesatu dan dunia ketiga tampak telah semakin dikurangi”.