Pages

Monday, June 3, 2013

Makalah Pemikiran Politik Nurcholish Madjid



Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam dan Politik
Oleh :Wiriyanto Aswir

A.Pengantar
Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939-2005) dikenal sebagai pemikir islam yang paling controversial.Pandangannya tentang :Sekulerisasi,Islam Yes Partai Islam No,tidak ada Negara Islam ,hingga pluralism,telahmenyulut perdebatan panjang.Ia mendobrakkebekuan politik dengan seruan oposisi ,Pancasila sebagai ideology terbuka,dan pencalonan dirinya sebagai presiden dengan modal pikiran.Belakangan ia dikenal sebagai guru bangsa lantaran seruan-seruan yang memberi arah masa depan bangsa.
Peta bumi intelektual Indonesia cukup kaya dengan kehadiran para pionir, raksasa pemikir, dan para martir yang mempersembahkan diri demi pengayaan kecerdasan rakyat nusantara. Mereka tak semuanya melewati karpet merah sejarah —berujung dengan penghormatan dan pengakuan mulia. Tak kurang-kurang pula tokoh yang perlaya dengan penistaan degil, serta selalu berbuntut dengan kontroversi.Potret kultural seperti inilah yang menjadi lahan semai gagasan-gagasan progresif dari seorang Santri Jombang yang juga nyantri di Chicago University, yaitu Nurcholis Madjid.
Oposisi ide terhadap Cak Nur, dengan hormat kita menyebut yang bersumber dari: Endang Saefudin Anshari, HM. Rasyidi, Ridwan Saidi, Daud Rasyid, atau bahkan Akhmad Soemargono, serta sayap radikal kelompok-kelompok Islam lain, menurut saya benar ketika mengatakan bahwa Cak Nur tidak orisinil.
Tapi sama sekali tak boleh menyedot takaran persembahan ide Cak Nur yang artikulatif. Cak Nur tak terbang sendiri dengan keresahan untuk memberangus sikap ber-Islam yang jumud, taklid, dan anti intelektual. Sebab, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, dalam epilog oleh Buddy Munawar Rachman, bahwa Bung Karno pun jauh-jauh hari sudah menggagas perlunya menyerap Api Islam. Si Bung Besar itu berdakwah bahwa Umat Islam Indonesia hanya bisa menangkap abu dan arang Islam.

B.Teori
Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai,ide-ide atau norma-norma,kepercayaan atau keyakinan,suatu weltanchaung,yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas dasar mana ia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problematika politik yang dihadapinya dan yang menentukan perilaku politiknya.[1]
            Kesadaran pemahaman manusia –diakui- tidak akan pernah sedemikian mandiri dan terlepas dari realitas dari ruang lingkupnya (Hans Georger Gadamer:1975) Hal itu dikarenakan keberadaan manusia berikut pemahamannya selalu berada pada ranah situasional.[2]
            Pada dasarnya,sebagaimana yang diakui ahli psikologi,apa yang diuraikan oleh seseorang, adalah terkait berbagai problem yang ada di dalam kehidupannya.Hal ini mencerminkan bahwa mereka adalah mereka termasuk ke dalam kategori mahkluk yang tak bisa melepaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna ,berarti berusaha untuk memahami dan “memahami” adalah kegiatan yang tidak bisa dilepaskan dari faksinitas eksistensi maupun nilai-nilai miliki dan ruang waktu yang melingkupinya[3]

C.Pembahasan
            Cak Nur bukan saja raksasa intelektual yang pernah dimiliki negeri ini. Ia, seperti halnya intelektual sejati lainnya, hidup dalam nuansa kesahajaan yang patut diteladani. Ia hidup sederhana. Bahkan pernah tak mampu mengobati anaknya yang sakit (mengingatkan kita kepada tokoh Agus Salim, yang meski dihargai di mana-mana, tetapi hidup dari kontrakan ke kontrakkan, juga terhadap Bung Hatta). Ia juga seorang intelektual organik, yang tahu berbuat konkret. Termasuk bertindak secara gigih dalam melawan arus. Di saat orang ramai-ramai membuat sakralisasi terhadap partai islam, ia berkibar dengan kredo: Islam Yes, Partai Islam No! Atau tatkala banyak orang “bedol desa” ke Partai Golkar, ia malah berkampanye untuk PPP. Karena, menurutnya, demokrasi butuh kekuatan pengimbang, dan PPP adalah ban kempes yang harus dipompa[4]Daya dobrak ide Cak Nur pertama-tama menohok pada sikap puritan Ummat Islam Indonesia, yang ideologis-politis, apologetik, dan terperangkap dalam formalism-legalisme. Dalam jangka pendek, kadang sikap ini memang terkesan heroik dan memuaskan nafsu. Sayangnya, tak ada kreativitas dan inovasi apapun di sana, kecuali mengulang-ulang lagu lama. Pada akhirnya, terlihat bahwa opini sedemikian adalah palsu, dan menjadi bumerang yang memukul balik Ummat Islam[5] Jika Islam menjadi kekuatan politik, maka ia akan sektarian, terbatas dan ekslusif. Sementara Islam, menurut Cak Nur, bukanlah agama formalistik, melainkan substansinya berpijak pada nilai, moral dan etik. Dengan demikian, kekuatan Islam adalah kekuatan budaya, yang maknanya terlihat pada penghormatan terhadap keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan pluralisme. Agenda-agenda seperti itu, tentu akan berkesuaian dan sinergik dengan kelompok lain[6]
Kegentingan yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari imprasse politik Islam Pasca Orde Lama.Turut andil dalam memberi jalan bagi kelahiran Orde Baru,harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitas PartaiMasyumi  yang dibekukan rezim Sukarno bagai pungguk merindukan bulan,Setelah Suharto menolaknya pada bulan Januari 1967.Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua [7]
Pergeseran pemikiran Cak Nur kea rah pemikiran Islam yang lebih prograsif merupakan hasil dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya ,Seperti yg dikatakan Wahib (1961:160-161) :”Nurcholis Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca.Buku adalah pacarnya yang pertama .Walau dia sudah merasa benar,tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar,memaksanya lama – lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya ‘.Karena hobi membacanya ,kata Wahib,Madjid adalah orang yang cukup punya peralatan ilmu sehingga dengan suatu perubahan mental saja dia sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h.163).Madjid juga merupakan seorang individu yang independen yang tidak memiliki mentor khusus.Bagi seoprang mahasiswa IAIN ,menjadi ketua HmI merupakan sesuatu yang tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya.Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa “wacana intelektual’ modern.Namun,impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah ,Pada bulan Oktober 1968,dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat dibawah sponsor Council for Leaders and Specialist (CLS).ALasan dibalik undangan ini ,menurut seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta,ialah sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini’(Wahib ,1981:161) .Selama dua bulan perjalanannya di Amerika ,dia mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari para mahasiswa,mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik,dan menyaksikan langsung prestasi-prestasi peradaban Barat .Dia juga berkesimpulan untuk menemui kompratriotnya ,seorang intelektual sosialis berpengaruh ,Soejatmoko .Yang saat itu menjadi duta Besar Indonesia di AS,yang menyambut kunjungannya dengan ramah.[8]
Perubahan mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari ‘komunitas epistemiknya’, berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya.Salah seorang tokoh kunci yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan tema ‘Integrasi Ummat Islam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya menangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan.[9]Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: ‘Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu’.[10]Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acara halal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisir bersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih ‘pembaharuan pemikiran dan integrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi  bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai pembicara.[11]
Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur mempresentasikan sebuah makalah berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai ‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslim telah menyebabkan ‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkin akan menghalangi usaha-usaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi Muslim tradisionalis.Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai ‘pembaharuan’, Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari ‘nilai-nilai tradisional’-nya dan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang berorientasi masa depan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasan intelektual, menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress), dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah ‘sekularisasi’ di sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna ‘desakralisasi’ atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental. Yang terakhir namun juga penting, dalam merespon kian meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’[12]

Salah satu kenyataan yang menggembirakan tentang islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya yang pesat,terutama dari segi jumlah pengikut (formal).Daerah-daerah yang dahulunya tidak mengenal agama ini dahulunya mengenalnya.Malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya disamping agama lainnya yang telah ada sebelumnya.Dan kalangan dari tingkat social yang lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada ISlam;jika tidak mengamalkannya sendiriv msetidak-tidaknya demikianlah sikap –sikap resmi mereka.Tetapi,sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta jawaban.Yaitu,sampai dimanakah perkembangan akibat daya tarik yang jujur dari ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpin-pemimpinnya itu,lisan maupun tulisan?Ataukah perkembangan kuantitatif ISlam itu dapat dinilai sebagai tidak lebih dari pada gejalan adaptasi social karena perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini,yaitu kalahnya kaum Komunis,yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam ?(dan adaptasi social juga telah terjadi pada zaman orde lama,sebab presiden Soekarno pada waktu itu selalu dengan penuh kegairahan ,menunjukkan Interestnya kepada Islam –juga kepada Marxisme ,apapun dugaaan orang tentang motif yang ada dibelakangnya .[13]
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin sekali dapat ditemukan dengan meletakkan pertnyaaan berikutnya;sampai dimanakah mereka tertarik dengan partai-partai/organisasi-organisasi Islam?Kecuali sedikit saja ,sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai /organisasi – organisasi Islam.Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi :Islam ,yes,partai Islam,no!.Jadi,jika partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam,jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam kedaaan tidak menarik.Dengan perkataan lain,ide-ide itu sekarang menjadi basolut,memfosil,kehilangan dinamika.DItambah lagi ,patai-partai Islam tidak mampu membangun citranpositif dan simptik,bahkan yang ada ialah sebaliknya.(Reputasinya sebagian umat Islam di bidang ,korupsi,umpamanya ,makin lama ,makin menanjak).[14]
D.Biografi Cak Nur
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005

Masa kecil dan pendidikan
Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Ide pembaharuan Islam
Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.



            Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an , sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
E.Kesimpulan
Ide-ide Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu 1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai ”nasionalis-sekular” sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan representasi keislaman.Yang paling penting dari nya soal politik dan Islam adalah menekankan esensi keislaman,bukan pada partai Islam

Daftar Pustaka
Madjid,Nurcholish.2010.Islam,Keindonesiaan,kebangsaan. Paramadina:Jakatrta
Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388 H./29 Maret 1968.

Gauf,Ahmad.Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.Penerbit Kompas:Jakarta
Harper and Brow,dalam Being and Time.1962.Hal.19-24.J,Marquarrie (terj.):New York
[1]Jean Paul.dalam Eksistensi and Humanisme.London:Methuen and Co ltd.1968.pp.34



[1] Ibid.Hal 45
[2] Harper and Brow,dalam Being and Time.1962.Hal.19-24.J,Marquarrie (terj.):New York
[3]Jean Paul.dalam Eksistensi and Humanisme.London:Methuen and Co ltd.1968.pp.34
[4]Gauf,Ahmad.Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.Penerbit Kompas:Jakarta .Halaman 141
[5] Ibid.halaman 121
[6] Ibid.Halaman 155.
[7] Ibid.Halaman xii
[8] Ibid.halaman  xviii
[9] Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388 H./29 Maret 1968.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Madjid,Nurcholish.2010.Islam,Keindonesiaan,kebangsaan.Halaman 226/Paramadina:Jakatrta
[14] Ibid,Hlm 227
Minggu –minggu ini sedikit berbeda,beberapa agenda di internal berjalan,seperti diskusi dan kunjungan,dan yg hamper rampung adalah bulletin komisariat,yang kurang jalan ,pengelola blog komisariat minim,soal internal itu banyak sekali yg gak teradvokasi ,contoh masalah masalah Hmj,seperti labor himakom,sikap dan keputusan kepada IMS,persoalan HImapar-Pariwisata,persoalan Komahi yang  kbrnya tidak mau pindah ke sekre baru.aku  gak tau persoalannya,belum lagi desas desus soal baju PKA, ini gak ketemu .#mau di kros check.aku bukan seperti aku ntwitter super goblok tangan tuhan 2013 yang bias nya caci maki begitu.tapi kata suryadi,wartawan bahana,Fisip memang kurang advokasi,bahkan adek ini mengkritik mungkin karena di nina bobokkan,yang jelas ini gak boleh lagi terulang.Soal internal,Al Madani Fisip baik sekali,pengelolaan kegiatan,memang cukup baik,terlihat dari kegiatan kegiatan yang memang dibutuhkan,focus ke Islamannya.kemarin Hmi Fisip kunjungan ke Almadani,mereka menyambut kami dengan ramah.Ada Priandoko,yang  mantan ketum,sekarang jadi tim relawan,bahkan menyambut Isra; mikraj ini Almadani ngadain event besar lagi.
Bem Fisip ngadain FI 4,positif ,soalnya temanya mengenai Nusantara,Titahg Negeri Bem Fisip juga bagus,sekre nya bersih ,nyaman,adem suasananya menyenangkan,boboy memang bagus soal bagian ini.sedang kan Hmj Hmj juga ada yang buat kegiatan besar seperti Himip sendiri ,positif,agenda fokermapinya cukup bagus.tapi “ada tapinya” .haha
Soal Hmi benatr lagi kami bikin konvensi kader,disana semua kader yang telah didistribusikan di Bem dan Hmj akan di evaluasi,selain itu kabarnya adek adek pengurus juga akan buat settingan dari PTKP,anehnya kabid PTKP aku ini juga mau naik,jadi siapa yang mem-PTKP-kan si Kabid PTKP? Nah ,kalau ditanya si Robi sos,sekretarisnya,nah dia juga mau naik di IMS ,jadi siapa yang mem-PTKP kan komisariat ,aneh dan unik,si Ari kom dari departemen Kpp yang wbaup himakom sekarang juga ada niat,Putra jelas di Himip,Suryadi,dan nama Fenta juga muncul.Si badrun masih Stay cool focus di komisariat,rencananya kami mau berangkat bareng LK 2 ..

Siapapun yang berniat naik silahkan ,luruskan niat ,pegang prinsip transparansi hehehe